Kapankah Jatuhnya Kewajiban Haji bagi Seorang Muslim?
Publikasi: 26/11/2004 14:50 WIB
Assalaamu'alaikum Wr. Wb.
Saya punya kerabat yang secara ekonomi sudah cukup untuk
melaksanakan haji, namun masih enggan untuk menunaikan haji, katanya karena
ingin membersihkan niat dulu untuk pergi berhaji. Pertanyaannya adalah,
kapankah jatuhnya kewajiban haji itu bagi seorang Muslim?
Wassalaamu'alaikum Wr. Wb.
Sania
Wassalaamu'alaikum Wr. Wb.
Sania
Jawaban:
Assalaamu'alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillaah washshalaatu wassalaamu 'ala rasuulillaah.
Memang dalam setiap ibadah termasuk ibadah haji salah
satu syaratnya adalah niat yang ikhlas, yaitu berniat hanya untuk Allah semata.
Sebab kalau ibadah itu tak diiringi niat karena Allah maka ibadahnya itu tak
akan diterima di sisi Allah swt.
Allah swt berfirman,
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah
Allah dengan memurnikan (mengikhlaskan) ketaatan kepada-Nya... (Al-Bayyinah: 5).
Adapun secara spesifik terdapat syarat-syarat dalam
ibadah haji adalah, Islam, berakal, baligh, merdeka dan mempunyai kesanggupan
atau kemampuan secara fisik, finansial dan aman dalam perjalanan.
Allah swt berfirman,
...Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap
Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah... (Al-Imran:
97)
Maka
apabila sudah terpenuhi syarat-syarat di atas sejatinya seorang Muslim segera
menunaikan ibadah haji sebelum maut menjemput. Dalam hal ini Rasulullah saw
bersabda,
Bersegeralah
kalian dalam menunaikan haji-yakni haji wajib-, karena seseorang tak tahu apa
yang akan menimpa dirinya (HR Ahmad dan Abu Dawud)
Jadi
saya anjurkan manakala seorang Muslim telah memenuhi syarat untuk berhaji maka
sebaiknya segera ditunaikan sembari berusaha untuk meniatkannya karena Allah
swt.Wallahua'lam
Wassalaamu'alaikum
Wr. Wb.
Hukum Mabit di Muzdalifah dan Hari Tarwiyyah
Publikasi: 21/07/2004 08:59 WIB
Assalaamu'alaikum
Wr. Wb.
Bagaimana hukum orang yang berhaji
mengikuti bimbingan Departemen Agama? Pasalnya terdapat beberapa rangkaian
hajinya tidak mengikuti sunah Rasulullah saw. Seperti tidak melakukan Tarwiyah
pada tanggal 8
Dzulhijah, tidak mabit di Muzdalifah yaitu hanya melintas saja dan waktu
melontar jumrah tidak sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah. Karena bila ingin berhaji seperti Rasulullah harus Tanazul dengan biaya
yang tidak sedikit. Atas penjelasannya saya ucapkan terimakasih.
Wassalaamu'alaikum Wr. Wb.
Benny
Benny
Jawaban
Assalaamu'alaikum Wr. Wb.
Assalaamu'alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah washalaatu wassalaamu ‘ala rasulillah.
Pergi ke Mina
pada tanggal 8
Dzulhijjah (Tarwiyyah) hukumnya sunah. Sementara itu mabit di Muzdalifah dan
melontar Jumrah merupakan wajib haji, artinya bila tak dikerjakan maka hajinya
tetap sah namun dia harus membayar denda (dam).
Berkaitan dengan bermalam di Muzdalifah
para ulama berbeda pendapat apakah harus bermalam di Muzdalifah sampai fajar
menyingsing atau sekedar singgah saja untuk shalat Maghrib dan 'Isya (dijama').
Dalam hal ini mazhab Hanbali berpendapat bahwa mabit di Muzdalifah hanya
setengah malam. Sementara mazhab Maliki berpendapat bahwa di Muzdalifah hanya
mampir saja untuk melaksanakan shalat fardhu dan istirahat sebentar untuk
kemudian melanjutkan perjalanan ke Mina.
Melihat kondisi jamaah haji dari ke hari
kian padat, maka apabila dengan bermalamnya di Muzdalifah akan menimbulkan
kesulitan besar, seperti padatnya saat melontar Jumrah Aqobah di Mina, maka
bagi jamaah yang lemah, lansia, anak-anak dan sejenisnya lebih baik memilih
mazhab Maliki. Perlu diketahui bahwa biasanya perjalanan dari Arafah ke
Muzdalifah mengalamai kemacetan sehingga terkadang mengalamai keterlambatan
untuk sampai ke Muzdalifah. Walaahua’lam
Wassalaamu'alaikum
Wr. Wb.
Badal Haji dan Syarat-Syaratnya
Publikasi: 19/07/2004 11:44 WIB
Assalaamu'alaikum Wr. Wb.
Bapak dan Ibu
saya berniat melaksanakan ibadah haji, perbekalan materi sudah cukup. Ternyata
Allah berkehendak lain, Ibu saya meninggal sebelum niat itu terlaksana.
Sekarang Bapak saya mendaftar untuk berangkat menunaikan ibadah haji dengan
mengajak salah satu puteranya (kami lima bersaudara) untuk meneruskan niat Ibu.
Bagiamana status
haji salah satu puteranya itu? Apa dasar hukum
tentang menghajikan orang yang sudah meninggal? Apa syarat orang yang
membadalkan (menggantikan haji) itu?
Wassalaamu'alaikum Wr. Wb.
Slamet Muhyadi
Slamet Muhyadi
Jawaban:
Assalaamu'alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah washalaatu wassalaamu ‘ala rasuulillaah.
Alhamdulillah washalaatu wassalaamu ‘ala rasuulillaah.
Status haji salah puteranya itu tergantung
niat si bapak, sebab segala amalan, termasuk ibadah haji, tergantung niatnya.
Kalau niatnya untuk diri sendiri maka hajinya sah dan jika niatnya untuk orang
lain (badal haji) maka ini berkaitan dengan syarat-syarat orang yang berhak
menggantikan ibadah haji orang lain.
Syarat-syarat orang yang menggantikan haji
orang lain adalah: Baligh dan waras (mukallaf), pernah berhaji untuk dirinya
(tak mesti dua kali), hendak ia berniat dengan mengucapkan Saya berniat
Ihram atas nama Fulan. Namun demikian, mazhab Hanafi tak mensyaratkan agar
orang yang menggantikan haji orang lain itu pernah berhaji terlebih dahulu,
alasannya dalil tentang kebolehan badal haji bersifat umum tanpa disebutkan
apakah ia pernah berhaji atau belum. Menurut mereka, hukum orang yang
menggantikan haji orang lain sedang ia sendiri belum berhaji adalah makruh
tahrim (yaitu tingkatan makruh tertinggi).
Adapun dalil diperbolehkannya badal haji
adalah dari Ibnu Abbas dan yang lainnya, Seorang wanita dari Juhainah
mendatangi Nabi saw dan berkata, sesungguhnya ibuku telah bernazar hendak
berhaji, namun tak juga berhaji sampai ia meinggal, apakah saya berhaji
untuknya? Beliau menjawab, Ya… (HR. Jamaah). Dan masih ada lagi hadits-hadits
lainnya yang intinya membolehkan badal haji. Wallahua'lam.
Wassalaamu'alaikum
Wr. Wb
Hukum Umrah Berkali-Kali ketika Haji dan di Luar Haji
Publikasi: 19/07/2004 10:49 WIB
Assalaamu'alaikum Wr. Wb.
Ketika beberapa
hari di Makkah untuk menunggu waktu haji, saya lihat ada rombongan jamaah
melakukan Umroh berkali-kali dengan mengambil miqot di Tan'im. Saya ingin
menanyakan, adakah pernah Nabi saw melakukan Umroh berkali-kali saat menunggu
waktu haji? Bagaimana hukumnya dan adakah hadistnya.
Wassalaamu'alaikum Wr. Wb.
Bapak Adjat Sudrajat
Bapak Adjat Sudrajat
Jawaban:
Assalaamu'alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, washalaatu wassalaamu 'ala rasuulillah.
Dalam hidupnya
Rasulullah hanya menunaikan 4
kali umrah yaitu umrah Hudaibiyah pada tahun ke-6 H, umrah berikutnya pada tahun ke-7 H, umrah Ji'ranah tahun ke-8 H dan umrah ketika beliau berhaji,
yang menurut pendapat paling kuat Rasulullah berhaji dengan cara Qiron, yaitu
berihram untuk haji dan umrah sekaligus atau berihram untuk umrah saja lalu
memasukkan niat haji sebelum Tawaf. Maka jelaslah bahwa ketika berhaji
Rasulullah hanya sekali berumrah.
Adapun hukum umrah berkali-kali, baik di
bulan-bulan haji atau di luar bulan haji, menurut mayoritas ulama hukumnya
sunah, dasarnya adalah: Dari Abi Hurairah r.a., bahwa Nabi saw bersabda,
"Dari umrah ke umrah lainnya adalah penebus dosa (kaffaarah) di antara
keduanya...".(H.R Buhkari dan Muslim).
Dalam kitab Al-Majmu' Imam Nawawi
mengatakan, dua atau tiga kali atau lebih umrah dalam setahun atau dalam sehari
taklah dimakruhkan, bahkan tanpa diragukan lagi, dalam pandangan kami (mazhab
Syafi'I) memperbanyaknya disunnahkan.
Menurut Ash-Shan'ani dalam Subulus
Salaam mengatakan, sabda Nabi saw Dari umrah ke umrah lainnya
merupakan dalil berulang-ulangnya umrah, dan itu tak makruh dan tak dibatasi
waktu.
Perlu diketahui bahwa mereka yang
mengatakan bahwa makruh melakukan umrah berkali-kali dalam satu tahun, maka
kemakruhan ini, menurut mereka, akan hilang manakala ia beberapa kali memasuki kota Mekkah dari arah di
mana di sana
ada miqot ihram.Wallahua'alam
Wassalaamu'alaikum
Wr. Wb
Mabit Semalam di Mina dan Melontar Jumroh Sekaligus
Publikasi: 19/07/2004 08:45 WIB
Assalaamu'alaikum Wr. Wb.
Ada yang
mengganjal di benak saya semenjak saya menunaikan ibadah haji pada tahun 2002 lalu bersama suatu yayasan
penyelenggara Ibadah Haji. Ketika itu dalam melaksanakan rukun dan wajib haji
sama sekali tak berbeda dengan jamaah yang lain kecuali dalam satu hal, yaitu
pelaksanaan mabit di Mina dan melontar Jumroh.
Oleh pembimbing
kami, untuk menghindari kecelakaan saat melontar Jumroh maka kami hanya
melakukan mabit di Mina selama semalam saja, yaitu pada tanggal 12 Dzulhijjah, kemudian pada
paginya sebelum subuh sekitar pukul 02.00
dini hari kami dibimbing untuk melontar Jumroh Aqobah yang dianggap sebagai lontaran
tanggal 10
Dzulhijjah, kemudian dilanjutkan dengan lontaran untuk tanggal 11, 12,13 Dzulhijjah yaitu dengan
mengulang-ulang lontaran ke Wustho, Ula dan Aqobah sebanyak 3 putaran. Menurut pembimbing kami,
kami hanya dikenakan membayar dam (denda) sebesar 2 Mud (bukan seekor kambing ). Mohon
penjelasannya.
Wassalaamu'alaikum Wr. Wb.
Sukriyono
Sukriyono
Jawaban:
Assalaamu'alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillaah, washalaatu wassalaamu 'alaa Rasuulillaah.
Mabit di Mina
merupakan wajib haji, maka minimal Anda harus mabit di Mina pada tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah jika Anda mengambil Nafar
Awal, atau maksimal sampai tanggal 13
Dzulhijjah jika Anda mangambil Nafar Tsani. Jika Anda mabit di Mina tak
sebagaimana mestinya, seperti hanya satu malam saja, maka Anda harus menyembelih
seekor kambing atau sepertujuh unta atau sapi di Mekkah.
Adapun melontar
Jumrah Aqobah yang dilakukan pada pagi tanggal 12 Dzulhijjah yang dianggap sebagai lontaran tanggal
10 Dzulhijjah, maka
lontarannya dianggap terlambat, sebab batas akhir melontar Jumrah Aqobah untuk
tanggal 10
Dzulhijjah adalah sampai akhir siang tanggal 10 Dzulhijjah, dalilnya adalah: "Seorang
laki-laki berkata kepada Nabi saw, saya melontar setelah saya ada di sore hari.
Maka Nabi menjawab, tak mengapa.". Akibatnya Anda telah mengakhirkan
wajib haji dan menurut mazhab Hanafi dan Maliki Anda harus menyembelih satu
ekor kambing. Adapun menurut mazhab Syafi'i dan Hanbali Anda tak diwajibkan
menyembelih seekor kambing, sebab keterlambatan Anda masih pada hari-hari
Tasyriq, yaitu 11, 12 dan 13 Dzulhijjah.
Kemudian melontar Jumrah Ula, Wushta dan
Aqobah pada tanggal 11,
12 dan 13 Dzulhijjah waktunya setelah
Zawwal (matahari mulai tergelincir ke arah barat) sampai matahari tenggelam.
Ini sesuai keterangan Ibnu Abbas, Bahwa Rasulullah saw telah melontar Jumrah
ketika matahari tergelincir ke arah barat.. Namun demikian, pada saat ini
jumlah jamaah haji makin banyak, sehingga ketika melontar jumrah memicu banyak
korban, dalam hal ini dibolehkan baginya untuk melontar jumrah sebelum zawwal,
pendapat kebolehan ini dikemukakan oleh tiga imam besar dari golongan tabi'in
yaitu 'Atha Bin Abi Rabah, Thawuf dan Abu Ja'far Al-Baqir.
Mencermati cara melontar Anda yang
dilakukan pada tanggal 12
Dzulhijjah, dimana Anda melontar sekaligus untuk tanggal 11, 12 dan 13
Dzulhijjah, maka berarti lontaran Anda untuk tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah mengalami keterlambatan, sedangkan
Anda mempercepat lontaran Anda untuk tanggal 13, artinya Anda melontar sebelum zawwal. Karena itu
lontaran Anda untuk tanggal 11
dan 12, menurut
mazhab Syafi'i dan Hanafi hukumnya sah, adapun lontaran Anda untuk tanggal 13, menurut pendapat tiga imam
besar tabi'in di atas maka lontaran sah. Namun demikian perlu diperhatikan
bahwa berbagai keringanan yang Anda lakukan dalam melontar itu akan mengurangi
keutamaan ibadah haji Anda, dan sebenarnya keringanan itu hanya diperuntukkan
bagi mereka yang lemah, lansia, wanita hamil dan sejenisnya.Wallahua'lam
Wassalaamu'alaikum
Wr. Wb.
Hukum Bersa‘i dengan Terputus-Putus dan Tanpa Berwudlu
Publikasi: 09/07/2004 20:11 WIB
Assalaamu’alaikum wr. wb.
Saya telah
bersa’i antara Shofa dan Marwah sebanyak 4
putaran, lalu karena letih akhirnya saya duduk-duduk untuk istirahat, apakah
saya harus mengulang dari awal lagi atau langsung menyempurnakan Sa’i saya? Kemudian
jika wudlu saya batal ketika bersa’i, apakah Sa’i saya yang telah dilakukan
juga ikut batal dan wajib bersa’i kembali dari awal setelah berwudlu?
Wassalaamu’alaikum wr. wb.
Ibu Nadia
Ibu Nadia
Jawaban:
Assalaamu’alaikum
wr. wb.
Menurut mayoritas ahli fiqih, pelaksanaan
Sa’i antara Shofa dan Marwah tanpa terputus-putus hukumnya sunah dan bukan
syarat sahnya Sa’i, karena itu Sa’i yang diselingi dengan duduk-duduk istirahat
tetap sah, asalkan menyempurnakan sisa putaran Sai’nya. Hanya Imam Malik yang mensyaratkan pelaksanaan Sai’ tanpa terputus-putus
atau sekaligus.
Kemudian, suci
dari hadats kecil bukanlah syarat sahnya Sa’i, sebab Nabi saw tak melarang
apapun atas Aisyah ketika ia tengah haidh kecuali dari Tawaf, seperti
diriwayatkan Imam Muslim. Bahkan Abdullah Bin Umar pernah bersa’i antara Shofa
dan Marwah, kemudian ia buang air kecil, setelah itu beliau langsung
melanjutkan Sa’inya. Wallahua’lam.
Nabi yang Pertama Kali Berhaji
Publikasi: 02/07/2004 14:14 WIB
Assalamu’alaikum
wr. wb.
Siapakah nabi
yang pertama kali berhaji? Apakah Nabi Nuh a.s.? Sebagaimana kita ketahui
bersama bahwa nabi yang pertama kali berhaji adalah Nabi Ibrahim a.s., sebab
dialah yang telah membangun dasar-dasar Baitullah Ka’bah, tapi dalam sebuah
hadits dalam maknanya disebutkan bahwa …tak ada seorang nabi pun yang diutus
kecuali ia telah berhaji… Mohon penjelasannya.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Bapak Ashim
Bapak Ashim
Jawaban:
Assalaamu’alaikum wr. wb.
Sebenarnya
lokasi Baitullah itu telah diketahui Nabi Adam a.s., dan dikatakan bahwa dialah
yang meletakkan dasar-dasarnya, lalu datang Ibrahim a.s. dan anaknya Ismail as,
maka keduanya meninggikan dasar-dasar itu, seperti dijelaskan dalam Al-Qur’an.
Adapun hajinya
para nabi, sejak Nabi Adam a.s., keterangannya terdapat di beberapa hadits.
Di antaranya hadits riwayat Al-Baihaqi, di
bab Syua’b Al-Iman, dari Anas Bin Malik, bahwa Nabi saw bersabda, Dahulu
lokasi Baitullah di zaman Adam a.s. itu sehasta, atau lebih, dahulu para
malaikat berhaji ke sana sebelum Adam, kemudian Adam berhaji, maka para malaikat
menemuinya dan bertanya, “Hai Adam, dari manakah Anda?” Ia menjawab, “Habis
berhaji di Baitullah.” Para malaikat mengatakan, “Sungguh para malaikat telah
berhaji ke sana
sebelum Anda.”
Adapun hajinya Nabi Nuh a.s., secara
eksplisit terdapat dalam Atsar Urwah Bin Az-Zubair r.a., ia mengatakan, Tak
ada seorang nabi pun melainkan ia telah berhaji ke Baitullah, kecuali yang
terjadi pada Hud dan Soleh, dan Nuh telah berhaji ke sana, maka tatkala bumi
dilanda banjir, Baitullah pun terkena seperti bagian bumi lainnya, kala itu
Baitullah seperti bukit kecil merah, maka Allah mengutus Hud a.s., lalu ia
tersibukkan oleh urusan kaumnya sampai Allah memanggilnya, ia belum berhaji ke
sana sampai ia meninggal, dan tatkala Allah memberikan tempat kepada Ibrahim
a.s. untuk berhaji ke sana, maka setelah itu tak ada seorang nabi pun
sepeninggal beliau kecuali ia telah berhaji ke sana.(Dikeluarkan oleh
Al-Baihaqi dalam As-Sunan). Wallahua’lam
Mabit di Masy’aril Haram
Publikasi: 03/08/2004 10:36 WIB Assalaamu'alaikum Wr. Wb.
Tahun
2000 lalu kami
menunaikan rukun Islam kelima yaitu haji, namun ada satu hal yang senantiasa
mengusik hati saya, yaitu untuk mencari tahu tentang mabit di Masy’aril Haram,
kenapa jamaah dari Indonesia
tidak melakukannya? Padahal kalau kita lihat ada
perintahnya dalam Al-Qur’an. Mohon pencerahannya.
Wassalaamu'alaikum Wr. Wb.Rosyada
Jawaban
Assalaamu'alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillaah washshalaatu wassalaamu ‘ala rasuulillaah
Masy’aril Haram adalah suatu
tempat di ujung Muzdalifah dimana Rasulullah dahulu pernah berdo’a dan memungut
batu untuk selanjutnya melontar di Mina. Untuk saat sekarang, pada saat jemaah
haji bermalam di Muzdalifah, Masy’aril Haram menjadi padat karena disesaki oleh
kendaraan yang tengah mabit. Sebenarnya Masy’aril Haram merupakan daerah bukit
yang nama aslinya adalah Quzah.
Memang Masy’aril Haram tersebut
dalam Al-Qur’an bahkan dalam hadits. Allah swt berfirman:
…Maka apabila kamu
telah bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram… (Al-Baqarah: 198)
Dalam Hadits Jabir Bin
Abdillah ra, bahwa Nabi saw tiba di Muzdalifah, maka ia pun melakukan shalat
Magrib dan ‘Isya di sana dengan sekali adzan dan dua qomat, tanpa melakukan
shalat sunat apapun di antara keduanya, lalu ia berbaring sampai terbit fajar,
maka dikerjakannyalah shalat Subuh ketika fajar diketahui dengan sekali adzan
dan sekali qomat, kemudian ia menaiki unta Qoshwa hingga tiba di Masy’aril
Haram, maka ia pun menghadap kiblat lalu berdo’a kepada Allah, membaca takbir,
tahlil dan tauhid. Ia terus berdiri, sampai hari telah demikian terang, lalu
berangkat sebelum matahari terbit. (HR Muslim)
Jadi,
meski Masy’aril haram tersebut dalam Al-Qur’an dan Hadits, tapi mabit di
Masy’aril Haram memang tak diperintahkan. Dalam Al-Baqarah ayat 198 dan hadits di atas jelas bahwa
setelah Nabi saw mabit di Muzdalifah dan shalat Subuh lalu beliau berangkat
menuju Masy’aril Haram untuk berzikir, bertahmid, bertahlil, bertauhid dan
berdo’a kepada Allah.
Amalan
di Masy’aril Haram dapat dilakukan jika memang memungkinkan, pasalnya untuk
saat ini, kala musim haji tiba, maka pada tanggal 10 Dzulhijjah daerah Masy’aril Haram
dipadati dengan kendaraan, sehingga akan menyulitkan jemaah haji sendiri.
Sebenarnya
yang terpenting bagi jemaah adalah mabit di Muzdalifah di bagian mana pun,
asalkan tempat itu masih dalam wilayah Muzdalifah. Dan mabit di Muzdalifah
termasuk wajib haji, jika seorang jemaah haji tak mabit di Muzdalifah maka ia
dikenai Dam. Sedangkan datang ke Masy’aril Haram untuk berzikir dan berdo’a di sana hanya sekedar anjuran
saja atau sunah menurut semua mazhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’I dan
Hanbali.
Namun
demikian jika yang Anda maksud dengan Masy’aril Haram di sini adalah Muzdalifah
maka memang jemaah haji wajib mabit (bermalam) di Masy’aril Haram (baca:
Muzdalifah), sebab nama lain dari Muzdalifah adalah Muzdalifah itu sendiri,
lalu Jama’ dan Masy’aril Haram.Wallahu’alam
Wassalaamu'alaikum
Wr. Wb.Hadats Kecil dalam Thawaf
Publikasi: 29/07/2004 12:11 WIB
Assalaamu’alaikum
Wr. Wb.
Pada saat kita melakukan Thawaf sebelum
satu putaran penuh kita batal wudhu kerena hadits kecil, apakah kita harus
melakukan Thawaf dari awal garis coklat atau dimulai dari di mana kita batal?
Mohon penjelasannya.
Wassalaamu’alaikum
Wr. Wb.
Supriyono
Supriyono
Jawaban
Assalaamu’alaikum
Wr. Wb.
Alhamdulillaah washshalaatu wassalaamu 'ala rasuulillaah.
Perlu diketahui
bahwa di antara syarat Thawaf menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali adalah
suci dari hadats dan najis. Pasalnya, menurut mereka Thawaf itu seperti shalat.
Hal ini berdasar kepada hadits:
Thawaf di Baitullah itu shalat, tapi Allah membolehkan padanya (Thawaf)
untuk berkata-kata, maka barangsiapa berkata-kata padanya hendaklah jangan
berkata-kata kecuali hal yang baik. (HR Ibnu
Hibban dan Hakim).
Adapun menurut
mazhab Hanafi, suci dari hadats bukanlah syarat sahnya Thawaf, dasarnya firman
Allah …dan hendaklah mereka melakukan Thawaf di sekeliling rumah yang tua
itu (Baitullah). (Al-Hajj: 29).
Menurut mazhab
Hanafi ayat itu masih bermakna global atau umum, artinya tanpa diembel-embeli
syarat suci dari hadats. Adapun mengenai hadits yang menyebutkan bahwa Thawaf
itu seperti shalat, mazhab Hanafi menjelaskan bahwa hadits di atas hadits Ahad,
dimana hadits Ahad tak bisa mengkhususkan makna surat Al-Hajj ayat 29
itu.
Namun demikian
menurut hemat saya, suci dari hadats itu merupakan syarat sahnya Thawaf. Sebab ini diperkuat
oleh hadits lain, yaitu:
Aisyah menyebutkan bahwa yang pertama kali
dikerjakan Rasulullah saw ketika tiba, ia berwudhu kemudian berthawaf di
Baitullah.
(HR Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Berkaitan dengan pertanyaan Anda, maka Anda
berpegang kepada pendapat yang mengatakan bahwa bersuci dari hadats itu
merupakan syarat sahnya Thawaf. Dalam hal ini bila Anda tengah berthawaf lantas
terkena hadats kecil dan belum sempat menyelesaikan satu putaran penuh (belum
sampai ke garis coklat di mana Anda memulai Thawaf), maka Anda harus mengulang
dari garis coklat lagi, sebab Rasulullah memulai Thawaf dari Hajar Aswad yang
sekarang ini ditandai dengan garis coklat, garis ini dibuat karena padatnya
jemaah haji dari tahun ke tahun terlebih dalam Thawaf Ifadhah.Wallaahua’lam
Wassalaamu’alaikum
Wr. Wb.
Hukum Waliimatussafar
Publikasi: 22/07/2004 15:16 WIB
Asalaamu’alaikum
Wr. Wb.
Saya ingin bertanya mengenai acara Waliimatussafar
(Ratiban) yang dilaksanakan sebelum berangkat menunaikan ibadah haji, apakah
Rasulullah juga melakukan hal demikian? Apakah setiap orang yang pulang
menunaikan ibadah haji, sebelum sampai di rumah disunahkan shalat di mesjid
dekat rumah? Kalau disunahkan bagaimana niat shalatnya? Terima kasih.
Wassalaamu’alaikum
Wr. Wb.
Rustam Effendi
Rustam Effendi
Jawaban
Assalaamu’alaikum
Wr. Wb.
Alhamdulillah washalaatu wassalaamu ‘ala rasulillah.
Waliimatussafar berasal dari akar kata Waliimah
yang berarti jamuan atau pesta dan Safar yang berarti perjalanan. Dengan
demikian kata Waliimatussafar berarti jamuan atau pesta bagi orang yang
hendak melakukan perjalanan jauh.
Dalam kaitannya
dengan ibadah haji maka sebenarnya Rasulullah tak pernah melakukan acara Waliimatussafar
secara khusus, dan jika berkeyakinan bahwa acara Waliimatussafar ini
merupakan rangkaian dari ibadah haji maka itu mengada-ngada (bid’ah). Apalagi
kalau acara Waliimatussafar akan merusak ibadah haji itu sendiri seperti
mengurangi keikhlasan, padahal ikhlas itu ruhnya ibadah. Pasalnya tak sedikit
orang ingin menggelar acara Waliimatussafar hanya untuk tujuan tak
seharusnya seperti agar nantinya ia disebut pak/ibu haji, sehingga terjebak
dalam perbuatan Riya.
Namun demikian
kalau acara Waliimatussafar ini sebagai bagian dari rangkaian adab-adab
safar (melakukan perjalanan jauh) dan bukan bagian dari rangkaian ibadah haji
maka itu malah dianjurkan.
Dalam kontek
pertanyaan Anda ini Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Iidhaah telah merinci
adab-adab safar itu yang antara lain: sebelum berangkat meninggalkan rumah
dianjurkan untuk shalat dua rakaat dimana pada rakaat pertama membaca surat
Al-Kafirun dan pada rakaat kedua membaca Al-Ikhlas, kemudian setelah salam
membaca ayat Kursi, surat Al-Quraisy, Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Naas yang dilanjutkan
dengan berdo’a agar urusannya dimudahkan.
Adab safar lain
yang disebutkan Imam Nawawi adalah: hendaknya ia mengucapkan wada’ (pamitan)
terhadap keluarga, para tetangga dan para teman dekatnya. Tujuannya adalah
untuk meminta maaf terhadap mereka dan agar mereka mendo’akannya.
Begitu pula Imam Nawawi menyebutkan
adab-adab kepulangan dari safar, di antaranya: ketika tiba di rumah dianjurkan
agar menuju mesjid terdekat untuk kemudian shalat dua rakaat, dan demikian juga
apabila masuk ke rumah dianjurkan untuk shalat dua rakat lalu berdo’a dan
memanjatkan rasa syukur kepada Allah swt. Adapun niatnya adalah tanpa perlu
mengucapkannya dengan lafal-lafal khusus yang berbahasa Arab, tapi cukup
berniat di hati saja tanpa perlu dilafalkan. Jadi shalat dua rakaat sepulang
ibadah haji bukanlah sunah haji tetapi bagian dari adab safar saja.
Kesimpulannya adalah jika Waliimatussafar
itu dianggap sebagai rangkaian ibadah haji dan menimbulkan efek negatif seperti
riya maka itu sama sekali tak dibenarkan, tapi jika muatan Waliimatussafar
itu ternyata merupakan pengamalan dari adab-adab safar maka itu dianjurkan.Wallahua’lam
Assalaamu’alaikum Wr. Wb.
Assalaamu’alaikum Wr. Wb.
Meninjau Ulang Waktu Pelaksanaan Haji
Tanggal dimuat: 21/1/2004
Sejak kurang lebih 10 tahun terakhir, jumlah umat Islam yang menunaikan
ibadah haji di Makkah mencapai rata-rata 2,5 sampai 3
juta orang/tahun. Konsentrasi jemaah yang demikian besar di satu pihak dan
keterbatasan tempat dan sarana di lain pihak, telah menimbulkan masalah bahkan
penyimpangan yang dapat menggangu kesempurnaan atau keabsahan ibadah haji itu
sendiri. Bagi jemaah haji setempat (Makkah dan sekitarnya), gangguan yang
menimpa ibadah hajinya boleh jadi tidak terlalu menjadi masalah, karena bisa
diulang dengan mudah kapan saja mereka mau.
Oleh Masdar F. Mas'udi
*)
1. Sejak kurang lebih 10 tahun terakhir, jumlah umat
Islam yang menunaikan ibadah haji di Makkah mencapai rata-rata 2,5 sampai 3 juta orang/tahun. Konsentrasi jemaah
yang demikian besar di satu pihak dan keterbatasan tempat dan sarana di lain
pihak, telah menimbulkan masalah bahkan penyimpangan yang dapat menggangu
kesempurnaan atau keabsahan ibadah haji itu sendiri. Bagi jemaah haji setempat
(Makkah dan sekitarnya), gangguan yang menimpa ibadah hajinya boleh jadi tidak
terlalu menjadi masalah, karena bisa diulang dengan mudah kapan saja mereka
mau. Tapi bagi jemaah yang datang dari jauh dengan biaya mahal, hal itu akan
menjadi beban mental yang sangat berat. Penyimpangan yang dimaksud, antara lain
sebagai berikut:
a. Dalam pelaksanaan sai'y (lari kecil) dari bukit Shafa ke bukit Marwa. Tidak sedikit di antara jemaah haji --bukan saja yang berusia lanjut dan udzur, tapi juga yang masih sehat-- yang bersa'iy dengan kerata. Ternyata pelaksanaan sa'iy mereka bukan lagi dari bukit Shafa ke bukit Marwa, melainkan hanya dari kaki bukitnya belaka.
a. Dalam pelaksanaan sai'y (lari kecil) dari bukit Shafa ke bukit Marwa. Tidak sedikit di antara jemaah haji --bukan saja yang berusia lanjut dan udzur, tapi juga yang masih sehat-- yang bersa'iy dengan kerata. Ternyata pelaksanaan sa'iy mereka bukan lagi dari bukit Shafa ke bukit Marwa, melainkan hanya dari kaki bukitnya belaka.
b. Pelaksanaan mabit
di Muzdalifah. Karena antrian kendaraan dalam kemacetan yang luar biasa, tidak
sedikit jemaah haji yang seharusnya mabit (singgah di malam hari) di Muzdalifah
untuk mengambil kerikil (jamarat), ternyata baru tiba di Muzdalifah sesudah
mata hari terbit, bahkan ada yang menjelang tengah hari.
c. Mabit di
lembah Mina. Disebabkan keterbatasan area lembah Mina untuk menapung jemaah
haji yang (baru) 2,5
juta orang, hampir 1
juta di antara mereka dalam beberapa tahun belakangan, terpaksa harus diinapkan
(mabit) di luar kawasan Mina.
d. Pelaksanaan lempar
batu (ramyul jamarat). Juga disebabkan ketidakmampuan kawasan jamarat untuk
menampung jemaah yang berjubel, maka ratusan ribu bahkan jutaan jemaah terpaksa
tidak dapat mengejar waktu afdlaliyat pelemparan, yakni ba'daz zawal.
2. Di samping masalah manasik di atas, secara teknis konsentrasi massa jemaah
yang besar dalam satu titik waktu & tempat yang sama juga telah menimbulkan
banyak permasalahan dan kesulitan (masyaqat) yang luar biasa dalam
pelaksanaan ibadah haji itu sendiri. Kesulitan-kesulitan itu antara lain:
a. Dalam pelaksanaan lempar Jamarat, sekali lagi disebabkan penumpukan jemaah yang luar biasa banyak pada satu titik waktu dan tempat yang sama, selalu saja terjadi musibah yang fatal, yakni kematian jemaah karena terinjak atau terjatuh. Segala sesuatu memang terjadi atas takdir Allah, akan tetapi merupakan perintah Allah juga agar kita berikhtiar semaksimal mungkin untuk menghindari petaka. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah [2]: 195: "Walâ tulqû bi aidîkum ilat tahlukah” (Jangan jerumuskan dirimu dalam petaka), dan juga dalam QS. AL-Hajj ayat 78: "Mâ ja'alal-Lâh 'alaikum fid dîn min haraj” (Allah sekali-kali tidak mau merepotkan kalian dalam beragama).
b. Telah terjadi pemubadziran yang luar biasa atas berbagai fasilitas mabit di Mina (berupa bangunan penginapan dan tenda-tenda permanen dengan alat pendinginnya, berikut sarana jaringan air minum dan telekomunikasi), serta jaringan jalan tol Makkah-Arafah-Mudzdalifah-Mina-Makkah. Kesemuanya itu terpakai maksimal hanya dalam 4 hari selama 1 tahun. Bagaimanapun hal ini merupakan bentuk tabdzir yang tidak diizinkan Allah SWT. Dalam QS. Al-Isrâ’ ayat 27 Allah berfirman: "Innal mubadzzirîn kânû ikhwânas syayâthîn wa kânas syaithân li rabbihî kafûra” (Sungguh orang-orang yang suka membuat kesia-siaan adalah teman-temannya syetan... ).
c. Telah terjadi kesulitan serius di kalangan para penyelenggara Perjalanan Haji, baik di tanah suci maupun di masing-masing negara asal, sejak mulai dari tahap pendaftaran, pembayaran, persiapan keberangkatan, pengangkutan ke tanah suci, dalam penyediaan akomodasi dan pelayanan-pelayanan lain.
a. Dalam pelaksanaan lempar Jamarat, sekali lagi disebabkan penumpukan jemaah yang luar biasa banyak pada satu titik waktu dan tempat yang sama, selalu saja terjadi musibah yang fatal, yakni kematian jemaah karena terinjak atau terjatuh. Segala sesuatu memang terjadi atas takdir Allah, akan tetapi merupakan perintah Allah juga agar kita berikhtiar semaksimal mungkin untuk menghindari petaka. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah [2]: 195: "Walâ tulqû bi aidîkum ilat tahlukah” (Jangan jerumuskan dirimu dalam petaka), dan juga dalam QS. AL-Hajj ayat 78: "Mâ ja'alal-Lâh 'alaikum fid dîn min haraj” (Allah sekali-kali tidak mau merepotkan kalian dalam beragama).
b. Telah terjadi pemubadziran yang luar biasa atas berbagai fasilitas mabit di Mina (berupa bangunan penginapan dan tenda-tenda permanen dengan alat pendinginnya, berikut sarana jaringan air minum dan telekomunikasi), serta jaringan jalan tol Makkah-Arafah-Mudzdalifah-Mina-Makkah. Kesemuanya itu terpakai maksimal hanya dalam 4 hari selama 1 tahun. Bagaimanapun hal ini merupakan bentuk tabdzir yang tidak diizinkan Allah SWT. Dalam QS. Al-Isrâ’ ayat 27 Allah berfirman: "Innal mubadzzirîn kânû ikhwânas syayâthîn wa kânas syaithân li rabbihî kafûra” (Sungguh orang-orang yang suka membuat kesia-siaan adalah teman-temannya syetan... ).
c. Telah terjadi kesulitan serius di kalangan para penyelenggara Perjalanan Haji, baik di tanah suci maupun di masing-masing negara asal, sejak mulai dari tahap pendaftaran, pembayaran, persiapan keberangkatan, pengangkutan ke tanah suci, dalam penyediaan akomodasi dan pelayanan-pelayanan lain.
3. Berbagai
penyimpangan manasik dan kesulitan teknis pelaksaaan ibadah haji tersebut di
atas, pangkal mulanya terjadi karena ketidakmampuan ruang/tempat (space) untuk
menampung jemaah haji yang demikian besar. Sementara itu, kita tahu bahwa
manasik haji pada dasarnya adalah ibadah yang konsep dasarnya adalah "napak
tilas" atas jejak Nabiyullah Adam AS (sang bapa makhluk manusia) dan
Nabiyullah Ibrahim AS (sang bapak tauhid manusia) dalam menemukan Tuhan Yang
Maha Esa, Allah subhanahu wa ta'ala. Sebagai proses napak tilas, maka dimensi
ruang atau tempat kejadian menjadi sangat penting untuk dijaga akurasinya,
dibanding dengan dimensi yang lain termasuk dimensi waktu.
4. Menghadapi
kenyatan-kenyataan di atas, maka pertanyaan kita adalah: Bagaimana
mengantisipasi ledakan jumlah jemaah haji di masa mendatang, yang dipastikan akan
terus bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk bumi yang menganut
agama Islam? Jika dengan jumlah sekarang (2,5, sampai 3
juta) saja telah terjadi penyimpangan manasik dan kesulitan teknis yang luar
biasa, bagaimana jika jumlah itu melonjak sampai 1,5 kali lipat (4 juta orang) atau bahkan 2 kali lipat (5 juta orang), atau lebih banyak lagi, 7 juta? Tidak mustahil sama sekali
hal ini akan terjadi!
Solusi Yang Tidak Dapat Diterima
5. Untuk mengatasi
hal tersebut, sejauh ini telah ditempuh dua solusi: Pertama, solusi yang
disengaja, yakni pembatasan jumlah jemaah haji dengan sistem kuota. Kedua,
solusi yang tidak disengaja atau yang terjadi secara begitu saja, yakni dengan
penjebolan batas-batas ruang manasik itu sendiri. Kedua solusi ini pada
dasarnya tidak bisa diterima, karena yang pertama tidak realistik, sedang
solusi yang kedua secara Syar'iy bermasalah.
6. Solusi kuota untuk
masing-masing negara dipastikan tidak bisa efektif, bahkan disana-sini telah
menimbulkan masalah baru yang tidak kalah rumitnya. Karena itu solusi ini harus
diabaikan karena beberapa hal:
a. Secara teknis, pembatasan kuota akan memicu
terjadinya ketimpangan antara supply (ketersediaan jatah/kuota) dengan demand
(minat orang Islam untuk menunaikan ibadah haji) yang sudah pasti akan
diikuti oleh tingkat kemahalan biaya di atas kewajaran. Akibatnya bisa memicu
terjadinya praktek suap (risywah) sekedar untuk mendapatkan jatah.
b. Dalam kenyataannya, sistem kuota yang telah
diberlakukan beberapa tahun belakangan ini, juga tidak mampu mengurangi atau
membatasi jumlah jemaah haji sampai ke tingkat yang sepadan dengan daya tampung
ruang dan waktu yang tersedia. Buktinya, penyimpangan manasik dengan menjebol
batas ruang dan kesulitan-kesulitan teknis seperti tersebut di atas tetap utuh,
kalau bukan malah semakin parah.
c. Jika harus diterapkan sistim kuota untuk mencari
keseimbangan antara jumlah jemaah haji dan daya tampung tempat-tempat
pelaksanaan (masyâ’ir), terutama lembah Mina, tempat lempar batu (jamarat)
dan jalur-jalur transportasi, maka diperkirakan jumlah jemaah tidak boleh lebih
banyak dari 1,5
sampai dengan 2 juta
orang saja. Artinya sekarang pun sebenarnya sudah terjadi kelebihan jemaah
sebanyak kurang lebih 1
juta.
d. Dari sudut syari'y, pembatasan jumlah jemaah haji
bagaimanapun masih mengandung masalah. Bagaimana bisa orang dilarang pergi
haji? Lagi pula kemaslahatan yang akan dikejar dengan penetapan kuota (seperti
tersebut pada point a dan b) sejauh ini belum pernah tercapai dan hampir pasti
tidak akan pernah tercapai. Sebaliknya, yang terjadi justru kemudaratan dalam
ekses-ekses yang secara syr'iy jelas-jelas dilarang.
7. Solusi untuk
mencapai keseimbangan antara jumlah jemaah dengan keterbatasan ruang/tempat
dengan cara menjebol batas-batas ruang/tempat itu sendiri, seperti yang selama
ini dibiarkan terjadi, jelas harus diakhiri karena justru bertentangan dengan
konsep dasar ibadah haji sebagai "napak tilas". Sebagai ibadah napak
tilas, maka ketepatan atau kepersisan dimensi ruang menjadi hal yang sangat
fundamental dibanding dengan dimensi lain, termasuk waktu.
Meninjau Ulang Soal Waktu (Hari-hari) Haji
8. Untuk mengatasi
problem di atas, baik penyimpangan manasik maupun kemusykilan teknis
pelaksanaan haji, maka satu-satunya jalan yang tersedia adalah dengan mengakhiri
kekeliruan kita dalam memahami konsep waktu (baca: hari-hari) pelaksanaan
ibadah haji. Dengan memperkirakan jumlah jemaah haji yang tidak lama lagi pasti
bisa mencapai angka 2
kali lipat dari sekarang, yakni sekitar 4,5 juta atau bahkan 5 juta, maka mau tidak mau kita harus kembali kepada
petunjuk Al-Qur'an tentang waktu pelaksanaan ibadah haji. Dalam surat Al-Baqarah ayat 197 jelas-jelas dinyatakan, bahwa,
"Al-hajj asyhurun ma'lûmât (Waktu haji adalah beberapa (3) bulan yang sudah maklum).
9. Ayat Al-Qur'an ini
secara terang benderang (sharih) menegaskan bahwa waktu pelaksanaan
ibadah haji adalah beberapa bulan yang sudah maklum (asyhurun maklumat). Para mufassir dan para ulama mengatakan bahwa yang
dimaksud adalah bulan Syawwal, Dzulqa'dah, dan Dzulhijjah. Menurut ulama
Hanabilah, waktu haji yang dimaksud adalah keseluruhan hari selama tiga bulan
tesebut. Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi'iyah yang dimaksud adalah
seluruh hari-hari bulan Syawwal dan Dzulqa'dah ditambah 10 hari pertama bulan Dzulhijjah.
10. Artinya, waktu
pelaksanaan ibadah haji sesungguhnya tidaklah sesempit yang kita pahami selama
ini, seolah-olah hanya sekitar 6
hari saja, yakni hari-hari ke 8,
9, 10, 11, 12,
13 dari bulan
Dzulhijjah. Berdasarkan nash Al-Qur'an tersebut, kita diberitahu bahwa seluruh
prosesi (manasik) haji mulai dari pengenaan pakaian ihram, thawaf, sa-'iy,
wuquf di Arafah, wuquf di Muzdalifah, mabit di Mina, melempar batu, dan potong
rambut, sebagai satu paket peribadatan, dapat (baca: sah) dilaksanakan secara
berurut (tertib) pada hari-hari mana saja selama asyhurun ma'lûmât (3 bulan) tersebut.
11. Ini tidak bedanya dengan shalat,
sebutlah shalat Isya. Untuk
menunaikan salat 'Isya, waktu yang dibutuhkan lebih kurang 10 s/d 20 menit saja, sementara waktu yang
disediakan membentang selama kurang lebih 9 jam sejak katakanlah pukul 19.00 sampai pukul 04.00 WIB. Bahwa Rasulullah SAW
sering melaksanakan shalat Isya dan shalat wajib yang lain pada beberapa menit
di awal waktu, adalah benar. Akan tetapi sunnah Rasul yang demikian itu sama
sekali tidak berarti bahwa hanya pada menit-menit pertama di awal waktu sajalah
shalat sah dilaksanakan, sementara di luar itu tidak sah.
12. Dalam teori Fiqih,
berkaitan dengan dimensi waktu, pelaksanaan ibadah bisa dikelompokkan pada dua
kategori. Pertama kewajiban ibadah yang waktunya terbatas (mudlayyaq), artinya
waktu yang diperlukan untuk pelaksanaan ibadah itu sendiri sama panjang/pendek
dengan waktu yang disediakan oleh Syara'. Misalnya puasa Ramadlan. Ibadah ini
hari-hari pelaksanaannya tidak lain adalah hari-hari bulan Ramadlan itu saja
(kecuali qadla), dan waktunya (jam-jamannya) juga terbatas sejak terbit
fajar sampai terbenam matahari.
13. Kedua adalah
ibadah yang waktunya longgar (muwassa'). Artinya waktu yang disediakan Syara'
dan sah untuk pelaksanaan ibadah yang dimaksud, lebih panjang dibanding dengan
waktu yang secara riil dibutuhkan. Masuk katagori ini adalah ibadah salat,
zakat dan haji. Kita tahu untuk menunaikan shalat cukup beberapa menit, tapi
waktu yang disediakan berjam-jam. Pembayaran zakat juga cukup beberapa menit,
tapi waktu yang tersedia sepanjang bulan Ramadlan (untuk zakat Fitrah) atau
sepanjang tahun untuk zakat mal. Demikian pula haji. Untuk pelaksanaan haji
cukup beberapa (4-5 hari), tapi waktu yang disediakan
dan sah untuk menunaikannya beberapa (3)
bulan.
14. Maka berbeda dengan puasa dengan konsep waktunya yang terbatas (mudlayyaq), maka yang ada adalah waqtul wujûb (waktu wajib pelaksanaan) dan sekaligus waqtus shihhah (waktu keabsahan), Tapi ibadah salat, zakat dan haji, mengenal waqtus shihhat (waktu kebolehan dan keabsahan untuk menjalankan) dan waktu afdlaliyyat atau prime time (waktu keutamaan). Waktu afdlaliyah salat adalah menit-menit pertama di awal waktu, sementara waktu afdlaliyah (prime time) untuk haji rupanya adalah pada hari-hari akhir di penghujung waktu Sekali lagi, ini bukan berarti pelaksanaan salat di luar menit-menit pertama atau ibadah haji di luar har-hari terakhir tidak sah. Tapi afdlaliyat-nya atau keutamaannya kurang.
14. Maka berbeda dengan puasa dengan konsep waktunya yang terbatas (mudlayyaq), maka yang ada adalah waqtul wujûb (waktu wajib pelaksanaan) dan sekaligus waqtus shihhah (waktu keabsahan), Tapi ibadah salat, zakat dan haji, mengenal waqtus shihhat (waktu kebolehan dan keabsahan untuk menjalankan) dan waktu afdlaliyyat atau prime time (waktu keutamaan). Waktu afdlaliyah salat adalah menit-menit pertama di awal waktu, sementara waktu afdlaliyah (prime time) untuk haji rupanya adalah pada hari-hari akhir di penghujung waktu Sekali lagi, ini bukan berarti pelaksanaan salat di luar menit-menit pertama atau ibadah haji di luar har-hari terakhir tidak sah. Tapi afdlaliyat-nya atau keutamaannya kurang.
15. Pemahaman yang
berlaku selama ini bahwa pelaksanaan haji seolah-olah hanya sah pada beberapa
hari saja di bulan Dzulhijjah, persisnya tanggal 8, 9,
10 ditambah 11, 12, 13,
pada dasarnya lahir dari pemahaman yang tidak tepat terhadap sunnah Rasululah
SAW perihal pelaksanaan ibadah haji beliau, yang memang terjadi hanya satu kali
sepanjang hidup beliau. Memang benar bahwa Rasulullah dan sejumlah sahabat
melaksanakan manasik haji pada hari-hari tersebut. Akan tetapi bahwa kemudian
disimpulkan seolah-olah di luar hari-hari tersebut tidak sah untuk melaksanakan
manasik haji adalah kesimpulan yang berlebihan dan sama sekali tidak berdasar.
16. Harus ditegaskan bahwa, tidak ada satu nash pun, baik ayat Al-Qur'an maupun hadits Nabi, bahkan yang dla’îf sekalipun, yang menyatakan dengan tegas bahwa di luar hari-hari ke 8 sampai dengan ke 13 Dzulhijjah tidak sah untuk menunaikan manasik haji. Kalau saja ada hadis yang menyatakan demikian, dan kenyataannya tidak ada, maka hadits itu harus ditolak, di samping karena jelas-jelas tidak sesuai dengan kebutuhan yang sangat nyata (hajjah maassah) sekaligus hal itu juga berarti pengabaian terhadap nash Al-Qur'an yang demikian terang benderang perihal waktu haji yang beberapa (3) bulan itu.
16. Harus ditegaskan bahwa, tidak ada satu nash pun, baik ayat Al-Qur'an maupun hadits Nabi, bahkan yang dla’îf sekalipun, yang menyatakan dengan tegas bahwa di luar hari-hari ke 8 sampai dengan ke 13 Dzulhijjah tidak sah untuk menunaikan manasik haji. Kalau saja ada hadis yang menyatakan demikian, dan kenyataannya tidak ada, maka hadits itu harus ditolak, di samping karena jelas-jelas tidak sesuai dengan kebutuhan yang sangat nyata (hajjah maassah) sekaligus hal itu juga berarti pengabaian terhadap nash Al-Qur'an yang demikian terang benderang perihal waktu haji yang beberapa (3) bulan itu.
17. Diakui bahwa ada
hadits sahih yang berbunyi, "Khudzû 'annî manâsikakum (Ambil
atau contohkah dariku manasik kalian). Hadis ini harus kita ikuti sebatas
menyangkut prosesi (manasik) ibadah haji (baik syarat, rukun, kewajiban dan
kesunatan haji, serta tertib atau urut-urutannya), juga menyangkut waktu
(siang, malam, qabla atau ba'da fajr atau zawal). Tapi bukan menyangkut waktu
dalam arti tanggal atau hari-harinya. Karena perihal yang tersebut terakhir
(hari-hari atau tanggal), sekali lagi Al-Qur'an telah menegaskan, asyhurun
maklumat atau beberapa (3)
bulan yang sudah maklum.
18. Dengan pendekatan
ini pulalah kita seharusnya memahami hadis lain dari Rasulullah yang
menyatakan, Al-hajju 'arafah (Haji adalah Arafah). Hadis
ini, selama ini juga dipahami secara berlebihan. Yakni bahwa puncak ibadah haji
adalah wuquf DI padang
Arafah dan DI HARI Arafah tanggal 9
Dzulhijjah. Karena dipahami demikian, maka nash Al-Qur'an yang sharih tentang
waktu haji yang beberapa (3
) bulan itu pun akhirnya dikorbankan (diilgho’-kan). Yang adil bahwa hadis al-hajj
arafah, cukup dipahami bahwa "puncak ibadah haji adalah wuquf di
Arafah. Sementara pada hari mana atau tanggal berapa haji dengan puncaknya
berupa wuquf di Arafah itu dilaksanakan adalah "selama beberapa (3) bulan” musim haji itu sendiri.
19. Ada yang berpendapat bahwa penegasan
Al-Qur'an tentang bulan-bulan haji tidak dimaksudkan untuk keabsahan ibadah
haji selama bulan-bulan itu, melainkan untuk persiapan. Pendapat ini tidak bisa
diterima, bahkan terasa mengada-ada. Pertama, tidak pernah ada nash
hadis maupun pandapat ulama/mufassir mu'tabar yang menyatakan demikian Kedua,
yang dimaksud persiapan ini tidak jelas batasannya, apakah dimulai dari mencari
uang dan menabungnya, atau dari saat mengurus paspor, atau saat keluar rumah
untuk melakukan perjalanan ke tanah suci. Tapi apa pun batasannya, bagi
penduduk Tanah Suci memahami ayat Al-Baqarah 197 untuk persiapan, terasa mengada-ada. Bagi
mereka, sekedar persiapan berhaji harus disediakan waktu behitung bulan sama
sekali tidak masuk akal. Karena pada saat ini
mereka niat haji, pada saat itu pula mereka bisa melaksanakannya.
20. Peninjauan kembali waktu haji dengan merujuk kepada surat Al-Baqarah ayat 197 terasa lebih adil terhadap nash. Karena prinsip yang dipakai adalah al-jam'u bainan nashhain (menggabungkan) kedua nash yang dipahami bertentangan padahal sebenarnya tidak. Yakni antara nash hadis (al-hajju arafah dengan khudzû 'annî manâsikakum) di satu pihak dan nash Al-Qur'an (al-hajj asyhurun ma'lûmât) di lain pihak. Karena nash pertama berbicara perihal aktivitas (manasik atau prosesi ibadah) haji dan tempatnya, sedang nash kedua yakni nash Al-Qur'an bicara soal waktu dalam arti hari-hari atau tanggalnya. Lagi pula, seluruh ulama usul sepakat bahwa, bagaimana pun memungsikan nash harus menjadi pilihan utama dibanding menganggurkannya (I'mâlun nash afdlal min ihmâlih).
20. Peninjauan kembali waktu haji dengan merujuk kepada surat Al-Baqarah ayat 197 terasa lebih adil terhadap nash. Karena prinsip yang dipakai adalah al-jam'u bainan nashhain (menggabungkan) kedua nash yang dipahami bertentangan padahal sebenarnya tidak. Yakni antara nash hadis (al-hajju arafah dengan khudzû 'annî manâsikakum) di satu pihak dan nash Al-Qur'an (al-hajj asyhurun ma'lûmât) di lain pihak. Karena nash pertama berbicara perihal aktivitas (manasik atau prosesi ibadah) haji dan tempatnya, sedang nash kedua yakni nash Al-Qur'an bicara soal waktu dalam arti hari-hari atau tanggalnya. Lagi pula, seluruh ulama usul sepakat bahwa, bagaimana pun memungsikan nash harus menjadi pilihan utama dibanding menganggurkannya (I'mâlun nash afdlal min ihmâlih).
21. Dengan memungsikan kembali nash
Al-Qur'an al-hajj asyhurun ma'lû,ât (waktu pelaksanaan ibadah
haji adalah beberapa (3)
bulan yang sudah maklum), maka dapat kita hindarkan mafasid dan kita
dapatkan masalih sebagai berikut:
a. Kemungkinan
penambahan jemaah haji seberapa pun banyaknya, bahkan sampai dengan 10 atau 15 juta pertahun pun seperti yang sangat
mungkin terjadi sejalan dengan semakin berbondong-bondongnya umat manusia di
dunia yang memeluk agama Islam, tidak perlu menjadi masalah.
b. Jumlah jemaah haji yang sebesar apa pun dijamin dapat melaksanakan ibadah haji dengan tertib melalui pengaturan waktu, katakanlah secara bergilir berdasarkan zona atau kawasan/negara selama bulan-bulan haji yang ditentukan tadi (yakni sekitar 10 pekan, sejak tanggal 1 Syawwal sampai dengan tanggal 13 bulan Dzulhijjah).
b. Jumlah jemaah haji yang sebesar apa pun dijamin dapat melaksanakan ibadah haji dengan tertib melalui pengaturan waktu, katakanlah secara bergilir berdasarkan zona atau kawasan/negara selama bulan-bulan haji yang ditentukan tadi (yakni sekitar 10 pekan, sejak tanggal 1 Syawwal sampai dengan tanggal 13 bulan Dzulhijjah).
c. Musibah yang selama
ini banyak menimpa jemaah calon haji wanita yang sudah di Makkah, tapi
tiba-tiba tidak boleh menunaikan rukun-rukun haji karena datang bulan, bisa
dihindari. Bagi mereka, boleh memilih hari-hari aman (tidak mens) kapan saja
(di luar hari-hari 8-13 Dzulhijjah) untuk menunaikan
ibadah hajinya asal dalam rentang waktu 3
bulan yang dimaksud.
d. Ketidakmampuan masyâ’ir
(tempat-tempat untuk pelaksanaan sa'iy, thawaf, wuquf di Arafah, di Mudzdalifah
dan mabit di Mina, serta tempat melempar jamarat) dengan otomatis bisa diatasi.
Pelanggaran batas-batas masya'ir yang selama ini terjadi
dengan sendirinya dapat dihindari.
e. Keterbatasan alat
angkut dan jalur transportasi yang selama ini dirasakan sangat sulit oleh
jemaah haji dan para pengorganisirnya juga dengan pasti dapat dipecahkan.
f. Demikian pula
pemubadziran sarana-sarana infrastruktur untuk pelaksanan ibadah haji, seperti
alat dan jalur transportasi, tempat-tempat penginapan, pemondokan dan akomodasi
baik di kota Makkah sendri, di padang Arafah, di lembah Mina dan di Jamarat
juga akan dapat diminimalisir.
g. Pengorganisasian
penyelenggaraan ibadah haji yang menjadi tanggungjawab pemerintah negara-negara
asal, dan khususnya di Tanah Suci juga dengan sendirinya akan lebih dapat manageable.
h. Di atas segalanya,
kita umat Islam bisa terhindar dari kekhilafan turun temurun yang kita warisi
selama ini, berupa pengabaian ayat Al-Qur'an yang demikian sharih, yang
semakin terbukti merepotkan kita semua, khususnya jemaah haji yang semakin hari
akan terus semakin bertambah.
22. Sebagai penutup ayat-ayat
Al-Qur'an dan hadis-hadis berikut sebaiknya kita renungkan kembali:
* Lâ yukallifulLah nafsan illâ wus'aha (Allah tidak akan membebani manusia kecuali seukur kemampuannya) (QS. Al-Baqarah [2]: 286).
* Lâ yukallifulLah nafsan illâ wus'aha (Allah tidak akan membebani manusia kecuali seukur kemampuannya) (QS. Al-Baqarah [2]: 286).
* Lâ nukallifu
nafsan illâ wus'aha (Kami tidak akan membebani manusia kecuali seukur
kemampuannya). (QS. Al-A'raf: 41)
* Wamâ ana minal
mutakallifin (Aku bukanlah termasuk yang suka memikulkan beban di atas
kemampuan). (QS. Shad: 86).
* Mâ ja'alalLah
'alaikum fid dîni min haraj (Allah tidak menjadikan agama suatu
beban yang merepotkan kalian) (QS. Al-Hajj: 78).
* Mâ yurîdulLâh
liyaj'ala 'alaikum min haraj (Allah tidak menghendaki satu kesulitan
atas kalian) (QS. Al-Maidah [5]:
6)
* YurîdulLâh
bikumul yusra wa lâ yurîdu bikumul 'usr (Allah menginginkan yang mudah
bukan yang sulit-sulit atas kalian) (QS. Al-Baqarah: 185).
* Bu'itstu bilhanafiyatis
samhah (Aku diutus Allah dengan agama yang hanif dan mudah
(Al-Hadis).
* Yassir wa lâ tu'assir (Permudahlah dan jangan mempersulit (Al-Hadis).
* Yassir wa lâ tu'assir (Permudahlah dan jangan mempersulit (Al-Hadis).
* Al-masyaqqah
tajlibut taisîr (Setiap kesulitan dapat mendatangkan kemudahan (Qaidah
Fiqhiyah).
* Al-drarar yuzâl (Kemudaratan harus dihilangkan) (Al-Hadis).
* Al-drarar yuzâl (Kemudaratan harus dihilangkan) (Al-Hadis).
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
*) Katib Syuriyah PBNU & Anggota Dewan Fatwa MUI.
*) Katib Syuriyah PBNU & Anggota Dewan Fatwa MUI.
PANDUAN HAJI
Maksud:
Menziarahi Makkatul Mukarramah dalam musim Haji dengan niat mengerjakan rukun haji. |
|||||||
|
|||||||
Terdapat beberapa perkara rukun dan
wajib dalam mengerjakan haji. Sekiranya salah satu rukun haji tidak
dilaksanakan, maka tidak sah haji tersebut ,manakala sekiranya perkara yang
wajib tidak di laksanakan, haji tetap sah tetapi mestilah membayar dam.
|
|
Maksud:
Melafazkan niat mengerjakan haji di tempat tempat Miqat tertentu. Sekiranya menaiki penerbangan dari Malaysia, tempat Miqat ialah di Yalamlam sekitar 89 km dari Mekah. Jemaah di nasihatkan memakai pakaian ihram terlebih dahulu dari rumah atau Kompleks Haji Kelana Jaya dan melafazkan niat hanya melafazkan niat apabila menghampiri Yalamlam. Juruterbang akan mengumumkan kepada semua jemaah supaya memasang niat apabila pesawat menghampiri Yalamlam. Sebaik sahaja melafazkan niat, jemaah sudah di kira berada di dalam ihram dan mesti mematuhi pantang larang ihram. |
|
Maksud :
Ketika di
dalam ihram, bermula dengan melafaz niat di Miqat, jemaah di mestikan
membendung diri daripada melakukan beberapa perkara terlarang*
sehinggalah selesai ibadah umrah atau haji dengan bertahlul. Sekiranya jemaah
melanggar mana mana pantang larang ihram, maka perlulah membayar dam pada kadar
tertentu.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Larangan ihram berbeza berdasarkan jantina jemaah.
|
Maksud:
Lafaz yang boleh dibaca bermula daripada waktu berniat ihram di Miqat sehingga waktu bermulanya tawaf haji di Baitullah. Bacaan talbiah amat di galakkan ketika dalam perjalanan ke Arafah untuk wukuf. |
|
BACAAN TALBIAH
|
|
Maksud:
" HambaMu datang menyahut panggilanMu, Ya Allah hambaMu datang menyahut panggilanMu, hambaMu datang menyahut panggilanMu, Tuhan yang tidak ada sekutu bagiMu, hambaMu datang menyahut panggilanMu, sesungguhnya segala pujian, nikmat dan pemerintahan adalah kepunyaanMu tidak ada sekutu bagiMu ." |
|
Maksud:
Berada di Arafah dalam keadaan sedar walaupun se saat di antara waktu terbenam matahari 9 Zulhijjah dan subuh 10 Zulhijjah. |
|
|
|
SYARIKAT- SYARIKAT WUKUF
|
|
1.
|
Berada dalam ihram dengan niat haji.
|
2.
|
Waras fikiran.
|
3.
|
Tidak dalam keadaan nazak.
|
4.
|
Berada di bumi Arafah dalam waktu
wukuf.
|
|
|
AMALAN KETIKA WUKUF
|
|
1.
|
Bersolat jemaah beramai ramai.
|
2.
|
Mengerjakan solat solat sunat secara
berjemaah atau sendirian.
|
3.
|
Bertalbiah
beramai ramai atau sendirian.
|
4.
|
Berdoa dan memohon ampun kepada
Allah s.w.t.
|
5.
|
Membaca Al Quran.
|
6.
|
Berzikir
|
|
Maksud:
Berada di Muzdalifah walau untuk
seketika selepas tengah malam 10th
Zulhijjah atau keseluruhan malam sehingga subuh 10th Zulhijjah.
|
|
|
|
AMALAN SEMASA DI MUZDALIFAH
|
|
1.
|
Mengerjakan solat isyak berjemaah
sekiranya masih belum.
|
2.
|
Mengerjakan solat sunat.
|
3.
|
Bertalbiah.
|
4.
|
Berdoa.
|
5.
|
Berzikir.
|
6.
|
Mengutip anak-anak batu untuk
melakukan lontaran di Mina. Bilangan
anak-anak batu yang dikutip adalah sebanyak :-
Tujuh (7) biji untuk lontaran Jamrah
Al-Aqabah dan Empat puluh dua (42)
biji untuk lontaran pada hari ke 11
dan 12 Zulhijjah
bagi Nafar Awal atau Enam puluh tiga (63)
biji batu sekiranya ingin digunakan untuk lontaran pada 11, 12 dan 13 Zulhijjah bagi Nafar Thani.
|
|
Maksud :
Membuat lontaran sebanyak 7 kali dengan 7 biji batu satu persatu masuk ke
dalam takungan Jamrah dengan yakin.
|
|
|
SYARAT SYARAT MELONTAR
|
|
1.
|
Melontar dengan
menggunakan tangan kanan. Jika tidak berkuasa atau berdaya, maka bolehlah
digunakan tangan kiri, kaki ataupun mulut
|
2.
|
Membuat
lontaran dengan kaedah merejam, bukannya seperti meletakkan batu, ataupun
melambung.
|
3.
|
Melontar
dengan mengangkat tangan ke atas paras bahu
|
4.
|
Niat melontar Jamrah tidak terpesong
kepada tujuan-tujuan lain
|
5.
|
Melontar
dengan batu ataupun jenis-jenisnya. Tidak sah menggunakan simen, konkrit atau
ketul tar.
|
6.
|
Pastikan
batu lontaran masuk ke dalam takungan Jamrah dengan yakin.
|
|
|
AMALAN DI JAMRAH AQABAH
|
|
1.
|
Terdapat 3 jamrah di Mina. Pastikan jemaah
melontar di jamrah yang betul dan mengikut turutan yang sepatutnya.
|
2.
|
Melontar 7 biji batu satu persatu dan cukup
jumlahnya 7
lontaran.
|
3.
|
Iringi
lontaran dengan takbir dan doa serta selesaikan dengan doa.
|
|
Maksud :
Membebaskan diri daripada pantang larang ihram dengan bercukur. |
|
Maksud :
Bercukur atau menggunting sekurang kurangnya 3 helai rambut dari kepala selepas menyempurnakan lontaran hari pertama di Jamrah Aqabah. |
|
|
|
BERCUKUR
|
|
1.
|
Lazimnya dibuat selepas
menyempurnakan lontaran hari pertama di Jamrah Aqabah. Adakalanya di buat
selepas tawaf dan saie haji sekiranya mengerjakan tawaf lebih dahulu daripada
lontaran hari pertama Jamrah Aqabah.
|
2.
|
Dibuat di Mina sekiranya tahlul
selepas melontar Jamrah Aqabah dan dibuat di Mekah sekiranya tawaf dahulu.
|
3.
|
Untuk lelaki lebih afdal bercukur
botak seluruh kepala dan untuk wanita memadai hanya memotong satu inci dari 3 helai rambut.
|
4.
|
Mulakan
bercukur di sebelah kanan kepala sambil menghala kiblat.
|
|
Maksud :
Mesti berada di Mina untuk sekurang kurangnya separuh malam pada tiap tiap malam Tashrik 11, 12 dan 13 Zulhijjah. |
|
|
|
IBADAH DI MINA KETIKA MABIT
|
|
1.
|
Mengerjakan solat fardhu berjemaah.
|
2.
|
Memperbanyakkan solat sunat.
|
3.
|
Talbiah.
|
4.
|
Membaca Al Quran dan berzikir.
|
|
Maksud :
Melontar ke
tiga tiga Jamrah ia itu 1)
Jamrah Al Ula, 2)
Jamrah Al Wusta and 3)
Jamrah Al Aqabah pada 11
and 12 Zulhijjah.
|
|
|
|
SYARAT MELONTAR JAMRAH
|
|
1.
|
Mesti melontar dengan tangan kanan tetapi sekiranya
tidak mampu, bolehlah dengan tangan kiri.
|
2.
|
Mestilah melontar dengan sempurna dan bukan sekadar
meletakkan batu ke dalam Jamrah.
|
3.
|
Tangan
perlulah di angkat sekurang kurangnya di atas paras bahu untuk lontaran yang
sempurna.
|
4.
|
Lontaran mestilah dengan niat untuk menyempurnakan
ibadat sebagai memenuhi tuntutan Haji kerana Allah Taala.
|
5.
|
Mestilah menggunakan batu dan tidak sah menggunakan
barang lain seperti selipar, simen, konkrit, tar dan sebagainya.
|
6.
|
Ke semua batu
tidak semestinya mengenai tiang Jamrah tetapi mesti memasuki kolah Jamrah.
|
7.
|
Pada hari
pertama, hanya perlu melontar di Jamrah Al Aqabah sahaja tetapi pada hari
hari tasyrik seterusnya mesti melontar di ketiga tiga Jamrah. Mesti melontar
mengikut turutan bermula dengan Jamrah Al Ula yang kecil di ikuti Jamrah Al
Wusta yang bersaiz sedang dan yang terakhir sekali Jamrah Al Aqabah.
|
8.
|
Lontaran pada hari 11 Zulhijjah mestilah
disempurnakan dengan yakin terlebih dahulu sebelum melontar seterusnya pada 12 Zulhijjah.
|
|
|
MELONTAR DI 3
JAMRAH
|
|
1.
|
Ada 3 jamrah di kawasan Mina. Pastikan
bermula di jamrah yang betul.
|
2.
|
Pastikan
bermula di Jamrah Al Ula yang kolahnya berbentuk bulat.
|
3.
|
Apabila sudah
kelihatan jamrah, sediakan batu lontaran sebanyak 7 biji di genggaman tangan kiri dan
menyusup perlahan lahan menghampiri jamrah.
|
4.
|
Apabila sudah
tiba dalam jarak melontar, ambil sebiji batu dari tangan kiri dan lontar ke
dalam kolah jamrah sambil melaung takbir. Ulangi sehingga cukup 7 kali lontaran. Bacalah doa
ketika dan selepas melontar.
|
5.
|
Teruskan
berjalan ke arah jarah seterusnya ( Jamrah Al Wusta ).
|
6.
|
Ulangi
cara melontar seperti di Jamrah Ula iaitu melontar 7 kali.
|
7.
|
Kemudian
teruskan ke Jamrah Al Aqabah yang kolahnya berbentu separa bulatan. Lontarlan
7 biji batu
seperti di lakukan di jamrah jamrah sebelumnya.
|
8.
|
Pastikan setiap batu memasuki kolah
jamrah
|
9.
|
Ingatlah bahawa 7
biji batu di setiap jamrah. Satu batu untuk
setiap lontaran.
|
|
Maksud :
Bergerak
mengelilingi Kaabah sebanyak 7
pusingan bermula dari garisan Hajarul Aswad dan berakhir di garisan Hajarul
Aswad dengan bahu kiri menghala ke arah Kaabah.
|
|
|
|
SYARAT SYARAT TAWAF
|
|
1.
|
Bersih
daripada hadas besar atau hadas kecil.
|
2.
|
Bersih
tubuh badan dan berihram yang suci daripada najis.
|
3.
|
Menutup
aurat sepertimana untuk solat.
|
4.
|
Bergerak
mengelilingi Kaabah 7
kali dengan yakin.
|
5.
|
Mengelilingi Kaabah dengan bahu kiri
menghala Kaabah.
|
6.
|
Garis permulaan tawaf ialah di
garisan hijau sejajar dengan Hajarul Aswad.
|
|
|
CARA MENGERJAKAN TAWAF
|
|
1.
|
Bergerak
perlahan tanpa gopoh ke arah garisan yang sejajar dengan sudut Hajarul Aswad
|
2.
|
Pasang niat tawaf umrah atau haji apabila sudah hampir dengan garis Hajarul Aswad. Contoh niat tawaf umrah: |
|
Maksud :
Segaja aku tawaf Baitullah ini
sebanyak 7
pusingan tawaf umrah, maka permudahkanlah dan terimalah ibadahku ini untuk
Allah Taala.
|
3.
|
Bacaan niat seperti di atas hanyalah sunat sahaja.
Sudah memadai sekiranya di niatkan dalam Bahasa Melayu seperti : “ Aku tawaf
umrah / haji untuk Allah s.w.t. “
|
4.
|
Di sunatkan melayangkan salam ke
arah Hajarul Aswad apabila melewatinya.
|
5.
|
Mulakan tawaf dengan bahu kiri
menghala ke arah Kaabah dan baca doa.
|
6.
|
Lelaki
digalakkan berlari anak pada pusingan pertama, ke dua dan ke tiga.
|
7.
|
Apabila
melewati Rukun Yamani, di sunatkan istilam dan takbir.Upon arrival at Rukun
Yamani, do the istilam and tekbir once more.
|
8.
|
&
pusingan mestilah di lengkapkan dan bahu kiri mestilah sentiasa menghala ke
arah Kaabah.
|
9.
|
Bacalah doa
di setiap pusingan sepanjang tawaf. Sebaik baik doa ialah yang difahami
sendiri dan ikhlas dari hati.
|
|
Maksud :
Bergerak dari Safa ke Marwah dan balik ke Safa berulang alik sebanyak 7 kali. |
|
|
|
CARA MENGERJAKAN SAIE
|
|
1.
|
Dibuat selepas menyempurnakan tawaf.
|
2.
|
Bermula di batu bukit Safa dan
berakhir di batu hitam bukit Marwah.
|
3.
|
Pasang niat
saie dan bacalah doa dan bertakbir sambil mengangkat ke dua dua tangan ke arah
Kaabah. Kemudian melangkah turun dari bukit Safa dan bergerak ke
arah Marwah. Contoh niat :
|
|
Maksud :
Ya Allah, aku
mengerjakan Saie antara Safa dan Marwah sebanyak 7 kali untuk Allah Taala
|
5.
|
Lengkapkan 7 pusingan dengan yakin.
Pergerakan dari Safa ke Marwah di anggap sebagai satu pusingan dan dari
Marwah ke Safa sebagai satu pusingan lagi.
|
6.
|
Mestilah
kekalkan niat mengerjakan saie hanya untuk Allah Taala.
|
|
Maksud :
Mengerjakan haji mengikut tertib atau turutan. |
|
|
|
TERTIB MENGERJAKAN HAJI
|
|
1.
|
Niat di Miqat.
|
2.
|
Wukuf di
Arafah pada 9
Zulhijjah.
|
3.
|
Singgah di Mudzalifah.
|
4.
|
Melontar di Jamrah Al Aqabah pada 10 Zulhijjah.
|
5.
|
Tahlul Awal dengan bercukur.
|
6.
|
Mabit di Mina
|
7.
|
Melontar di 3 Jamrah pada 11, 12 dan 13
Zulhijjah.
|
8.
|
Tawaf Haji/Ifadah
|
9.
|
Saie Haji
|
PANDUAN
HAJI
PEDOMAN MANASIK HAJI*M. Syamsi Ali |
MASJID AL-HIKMAH
NEW YORK Makna Haji
Kata
"haji" berasal dari "hajja-yahijju-hijjun" (kata benda)
dan "hajja-yahujju-hajju" (kata sifat). Namun kata ini juga bisa
berbentuk "hajja-yahujju-hujjatun", yang memiliki makna lain.
Hajja
yang menghasilkan kata "hijjun" maupun "hajjun" inilah
yang diartikan sebagaiu ibadah haji, atau perjalanan yang disengaja. Sedangkan hajja yang menghasilkan "hujjatun" bermakna
"alasan, tanda atau alamat".
Definisi Haji
Secara syar'I, haji
berarti "melakukan perjalanan dengan disengaja ke tempat-tempat suci
dengan amalan-amalan tertentu dengan niat beribadah kepada Allah SWT".
Sedangkan defenisi
lain, sesuai makna kedua dari haji, adalah "melaksanakan rukun Islam
yang kelima sebagai alamat penyempurnaan keislaman seorang Muslim".
Hukum dan Kedudukan Haji
Sepakat para ulama
dan seluruh ummat bahwa haji merupakan "kewajiban dan fardhu 'ain"
atas semua Muslim, pria maupun wanita, yang telah memenuhi persyaratannya,
sekali dalam seumur.
Sedangkan kedudukan haji dalam Islam adalah Rukun Islam
yang kelima.Syarat-Syarat Kewajiban Haji
Macam-Macam Pelaksanaan Haji
Rukun-Rukun Haji (jika ditinggalkan, haji menjadi batal)
Wajib-wajib Haji (jika ditinggalkan, wajib memotong DAM)
Penjelasan Rukun-Rukun HajiRUKUN PERTAMA: IHRAM
Yaitu
melakukan ritual "niat" haji atau umrah dan/atau haji sekaligus
dari Miqat yang telah ditentukan dengan bacaan yang telah ditentukan karena
Allah ta'aala. Niat haji dilakukan dengan mengucapkan bacaan berikut:
(Labbaeka Allahumma hajjan wa 'umratan) - bagi
yang berhaji qiran.
(Labbaeka Allahumma
hajjan) - bagi yang berhaji Ifrad
(Labbaeka Allahumma
'umratan) - bagi yang berumrah/berhaji tamattu'
Wajib-wajib Ihram:
Sunnah-Sunnah Ihram:
Larangan-Larangan Ihram (ada ketentuan dendanya):
Sanksi pelanggaran larangan Ihram:
Jika
yang dilanggar itu berupa mencabut rambut, menggunting kuku, memakai
wangi-wangian, bercumbu karena syahwat, laki-laki mengenakan kain yang
berjahit atau menutupi kepalanya, atau wanita memakai tutup muka (cadar) atau
kaos tangan maka fidyah-nya antara tiga, boleh memilih salah satu
daripadanya:
RUKUN KEDUA : WUKUF DI ARAFAH
Wukuf berarti
"berhenti". Sedangkan dalam pengertian Syaria'h: "Tinggal di
padang Arafah sejak tergelincir matahari pada tgl 9 dzulhijjah dengan niat ibadah karena
Allah".
Arafah adalah nama
sebuah padang, sekitar 8
mil dari kota Makkah. Padang ini dinamai "arafah" berarti
"mengenal", karena riwayat menyebutkan bahwa di padang inilah Adam
dan Hawa kembali saling bertemu dan mengenal setelah masing-masing diturunkan
ke bumi pada tempat yang berjauhan.
Dengan demikian,
wukuf di Arafah dapat berarti berhenti sejenak untuk mengenal kembali.
Sebagian ahli hikmah mengatakan bahwa pengertian ini mengandung makna
pentingnya bagi manusia untuk sejenak berhenti (introspeksi) dalam rangka
melakukan pengenalan (pada dirinya sendiri dan juga lingkungan sekitarnya).
Tanpa mengenal dirinya sendiri, manusia mustahil untuk mengenal Penciptanya
secara benar. Tanpa mengenal Rabb-nya, manusia akan mustahil mampu untuk
menyikapi kehidupannya secara rasional.
Wukuf di Arafah
merupakan rukun haji yang paling utama. Rasulullah bersabda: "Alhajju
'arafah" (haji itu adalah Arafah". Sehingga barangsiapa yang tidak
sempat melakukan wukuf, walau telah melakukan semua rukun yang lain, hajinya
dianggap tidak ada.
Wajib Wukuf:
1.
Dilakukan di dalam daerah Arafah (Kalau
sempat keluar walau sejengkal sebelum terbenam, diwajibkan memotong)
2.
Dilakukan hingga terbenam matahari (kalau
mengakhirinya sebelum terbenam, wajib memotong).
Sunnah-Sunnah Wukuf:
1.
Melakukan shalat Zhuhur dan Asar (jama'
qashar)
2.
Mendengarkan Khutbah Arafah
3.
Memperbanyak dzikir, doa atau baca Al
Qur'an. Doa terafdhal adalah: "Laa ilaaha illallah wahdahu laa syraiika
lah, lahul Mulku walahul hamdu yuhyii wa yumiit wahuwa 'alaa kulli syaein
Qadiir".
Masuk
daerah Arafah sebelum zhuhur (setelah Zhuhur masih sah, tapi kehilangan
sunnahnya).
RUKUN KETIGA : THAWAF
Thawaf
berarti "mengelilingi". Dalam pengertian syari'ah, thawaf difahami
sebagai mengelilingi Ka'bah selama tujuh kali dengan niat ibadah karena Allah
Ta'aala.
Macam-Macam Thawaf:Ada 4 macam thawaf:
1.
Thawaf Qudum, yaitu thawaf selamat datang.
Thawaf ini hanya berlaku bagi mereka yang melakukan haji Ifrad.
2.
Thawaf Ifadhah, yaitu thawaf rukun (haji /
umrah).
3.
Thawaf Sunnah, yaitu thawaf-thawaf yang
dilakukan kapan saja bilamana ada peluang.
4.
Thawaf Wada', yaitu thawaf selamat
tinggal, yang dilakukan jika seorang haji akan meninggalkan tanah haram.
Syarat-syarat Thawaf :
1.
Wudhu
2.
Menutup aurat
3.
Di luar Ka'bah
4.
Di dalam masjid al Haram
5.
Ka'bah di sebelah kiri
6.
Sempurna tujuh keliling
7. Dimulai dan berakhir di sudut al hajar al aswad
Sunnah-Sunnah Thawaf :
1.
Mencium hajar al Aswad (jika tidak
memungkinkan, dengan mengacungkan tangan dan menciumnya) sambil membaca:
"Bismillah Allahu Akbar, abda' bimaa badaaLLAHU wa Rasuluhu bihi"
2.
Membaca doa: "Allahumma imaanan bika
watishdiikan bikitaabika wattibaa'an lisunnati nabiyyika Muhammadin
Sallallahu 'alaihi wasallam"
3.
Pada
3 putaran pertama,
bagi laki-laki melakukan harwalah (berlari-lari kecil)
4.
Idhtiba'
(menggantungkan kain atas di bawah ketiak)
5.
Melambaikan
tangan ke Rukun Yamani (tanpa mencium)
6.
Membaca
"Rabbana Aatina fidddunya hasanah wa fil Akhirah hasanah waqinaa
'adzaabannar" antara sudut keempat dan pertama (yamani-hajar al aswad)
7.
Memperbanyak
doa, dzikir atau bacaan al Qur'an (sesuai kemampuan dan tanpa ikatan dengan
doa puataran pertama, kedua, dst.)
8.
Shalat
di belakang "Maqam Ibrahim" dengan membaca: pada raka'at pertama
alfaatihah dan Al Kaafirun dan pada raka'at kedua al faatihah dan Al Ikhlas
9.
Berdoa di depan "Multazam"
(sesuai hajat masing-masing).
10.
Meminum air zamzam (turun menuju tempat
sumur zam zam).
RUKUN KEEMPAT : SA'I
Sa'I berarti
"berusaha keras". Secara syar'I diartikan: "Berkeliling antara
bukit Shafa dan Marwa selama tujuh kali dengan niat ibadah karena Allah
ta'ala".
Syarat-Syarat Sa'I :
1. Wudhu (sebagian tidak melihatnya keharusan)
2.
Tujuh keliling
3.
Dimulai dari Shafa dan berakhir di Marwa
4.
Arah yang benar
Sunnah-Sunnah Sa'I :
1.
Saat memulai dengan menghadap Ka'bah,
melambaikan tangan sambil membaca: "Bismillah abda' bimaa badaaLLAHU Wa
Rasuluhu bihi"
2.
Mulai berjalan sambil membaca: "Innas
Shafa wal Marwata min Sya'aairiLLAH. Famanhajjal baeta awi'tamara falaa
junaaha 'alaehi an yatthawwafa bihimaa. Famantathawwa'a khaeran fainnaLLAH
syaakirun 'aliim". (dibaca setiap mendekati Shafa atau Marwa)
3.
Berlari-lari
di antara dua lampu pijar (bagi pria)
4.
Memperbanyak
doa, dzikir atau bacaan Al Qur'an
5.
Mengakhiri dengan berdoa menghadap Ka'bah
RUKUN KELIMA : TAHALLUL
Pengertian
"Tahallul" adalah menghalalkan kembali apa-apa yang tadinya
dilarang ketika masih dalam keadaan ihram. Tahallul ada dua macam; tahallul
pertama dan tahallul kedua.
Tahallul
pertama adalah melakukan pemotongan rambut baik secara keseluruhan atau hanya
sebagianm walau hanya sepanjang 2
inci oleh Syafi'I, setelah melakukan dua rukun ditambah satu wajib haji. Jadi
setelah melakukan ihram (rukun 1)
lalu wukuf (rukun 2),
dilanjutkan dengan melempar Jamrah Aqabah, sesorang haji telah diperbolehkan
untuk melakukan tahallul pertama. Orang yang telah melakukan tahallul I,
telah dapat melakukan larangan-larangan ihram, kecuali hubungan suami isteri
(jima').
Tahallul
kedua adalah jika semua rangkaian rukun haji telah dilakukan, termasuk thawaf
ifadhah dan Sa'I haji. Tahallul kedua tidak dilakukan pemotongan, melainkan
jatuh dengan sendirinya jika kedua hal di atas telah dilakukan. Setelah
tahallul kedua jatuh, semua larangan ihram boleh dilakukan kembali, termasuk
hubungan suami isteri.
Amalan-Amalan Mina.
Sebagaimana
disebutkan terdahulu, amalan-amalan Mina termasuk dalam kategori wajib haji.
Jadi melempar Jumrah Aqabah pada hari I, dilanjutkan dengan melempar ketiga
jamarat pada hari kedua dan ketiga (nafar Awal) atau pada hari ketiga (nafar
tsani), dan juga melakukan mabit pada malam-malam selama malam pelemparan
tersebut, hukumnya adalah wajib. Yaitu jika tidak dilaksanakan maka
diharuskan memotong atau membayar DAM.
a. Melempar Jumrah Aqabah (10 Dzulhijjah pagi)
b. Melempar 3 Jumrah: Ula, Wustha, Aqabah (11 dan 12 Dzulhijjah).
c. Mabit di Mina (tgl 10 malam dan tgl 11 malam Dzulhijjah)
Catatan: Ada dua
macam pelemparan dan Mabit di Mina. Pertama: Nafar Awal, yaitu melempar hanya
dua hari dan mabit hanya dua malam. Bagi yang mengambil nafar awal, harus
meninggalkan Mina sebelum matahari terbenam pada tgl 12 Dzulhijjah. Kedua: Nafar Tsani, yaitu
menambah semalam lagi di Mina pada tgl 12 Dzulhijjah malam, dan esoknya melempar kembali
tiga Jumrah.
THAWAF WADA'
Tawaf Wada' artinya
thawaf "Selamat tinggal" karena seseorang akan meninggalkan tanah
haram menuju kembali ke tempat tinggal aslinya dan dianggap sebagai bagian
dari Wajib Haji. Cara melakukannya sama dengan thawaf lain, dengan catatan
tidak boleh lagi melakukan kegiatan, kecuali dharurat seperti makan karena
lapar, setelahnya.
Haji dan Ziarah Madinah
Ada semacam asumsi
yang berkembang bahwa ziarah ke Madinah dengan shalat arba'iin (shalat 40 kali waktu tanpa masbuq) di
masjid Nabawi menjadi penentu afdhal tidaknya haji seseorang. Padahal,
sebenarnya hubungan antara haji dan ziarah ke masjid Nabawi di Madinah adalah
dua entity ibadah yang terpisah. Haji adalah wajib dan menjadi rukun kelima
Islam, sementara ziarah sekedar sunnah yang dianjurkan oleh Rasululah SAW.
Untuk itu, sebenarnya kedua-duanya tidak ada hubungan serta tidak saling
menanmbah atau mengurangi bobot ibadahnya.
(Allahumma ij'alhu
hajjan mabruuran wa sa'yan masykuuran wa dzanban maghfuuran wa tijaaratan lan
tabuur) Amin!
New York, 3 Januari 2003 |
|
Komentar
Posting Komentar