A. Pengenalan
Dalam Al qur’an tidak kurang dari 31 kata yang berasal dari kata Hajara
atau Hijrah. Dari jumlah itu tidak kurang dari 6 ayat yang menyebutkan
kata Hajaruu (orang-orang yang berhijrah) bergandengan dengan kata
Aamanuu (orang-orang yang beriman) dan Jahaduu (orang-orang yang
berjihad).
Ayat yang dikutip diatas adalah salah satunya. Belum lagi
kata Hajaruu diiringi dengan kata Fillah (karena Allah) atau Fi
Sabiilillah (di jalan Allah). Ini berarti betapa erat kaitan hijrah
dengan iman. Hijrah sama sekali berbeda dengan Migrasi, hijrah adalah
terminologi khas Islam yang landasanya iman kepada Allah. Jadi hijrah
menjadi tolok ukur keimanan seseorang. Orang yang benar-benar beriman
tentu tidak akan merasa berat melakukan hijrah. Sebaliknya, orang yang
tidak melakukan hijrah menunjukan lemah atau tidak sempurna imannya.
Yang menjadi persoalan sekarang adalah apa hakikat hijrah yang menjadi
tolok ukur keimanan tersebut ?? dan bagaimana mengaplikasikannya dalam
kehidupan kita sebagai seorang Muslim ?
B. Pengertian Hijrah
Secara bahasa hijrah berarti At-Tarku yang artinya meninggalkan, baik
meninggalkan tempat maupun meninggalkan sesuatu yang tidak baik. Dalam
syari’at islam hijrah diartikan meninggalkan negeri kafir menuju negeri
Islam karena takut fitnah. Fitnah disini maksudnya adalah bahaya yang
dapat mengancam fisik dan keimanan seorang muslim, baik secara pribadi
maupun secara kelompok.
Dalam siroh Nabi atau sejarah kehidupan
Rasulullah, kita kenal ada dua macam hijrah ; Pertama, hijrah ke
Habasyah dan kedua hijrah ke Madinah. Hijrah ke Habasyah bertujuan
sebagai perlindungan, artinya orang-orang yang melakukan Hijrah pada
umumnya orang-orang yang lemah yang patut mendapatkan perlindungan,
sementara orang-orang kuat justru dilarang ikut berhijrah. Oleh sebab
itu, hijrah ini bersifat sementara.
Sedangkan hijrah ke Madinah
bertujuan untuk melakukan mobilisasi umat dalam rangka meletakkan basis
kekuatan dan menegakkan daulah. Berbeda dengan hijrah ke Habasyah yang
pada umumnya dilakukan oleh orang-orang lemah, hijrah ke Madinah ini
justru dilakukan oleh orang-orang kuat. Oleh sebab itu, hijrah ke
Madinah merupakan suatu keharusan bagi setiap mukmin. Hanya orang lemah,
anak-anak, wanita dan orang-orang tua diizinkan untuk tidak berhijrah,
sebagaimana firman Allah [QS.An-Nisa’ : 97-98]. Baik Hijrah ke Habasyah
maupun hijrah ke Madinah dalam terminologi Islam disebut hijrah
makaniyah (hijrah tempat).
C. Aspek Hijrah
Dalam aplikasinya sekarang hijrah makaniyah ini tidaklah mutlak harus
dilakukan , karena hijrah makaniyah dalam bentuk pertama bisa dilakukan
manakala negeri yang kita diami sudah sangat tidak aman sekali yang
dapat mengancam keselamatan jiwa setiap mukmin, sehingga jangankan
melaksanakan ibadah kepada Allah secara maksimal, secara minimal pun
sulit dilaksanakan. Disamping itu harus ada negeri yang bisa memberi
jaminan keamanan.
Sedangkan Hijrah makaniyah dalam bentuk kedua
sebagaimana telah dijelaskan , tujuannya adalah untuk meletakkan basis
kekuatan Islam. Kalau tujuan ini dapat dicapai tanpa hijrah. Maka tidak
diperlukan lagi hijrah. Bukankah Rasulullah sebelum hijrah ke Madinah
terlebih dahulu mencari tempat-tempat yang bisa dijadikan basis kekuatan
sehingga Islam bisa ditegakkan, mulai dari Mekkah itu sendiri, Thaif
dan suku-suku sekitar mekkah ? bahakan hijrahnya sebagian sahabat ke
Habasyah pun menurut sebagian ulama tidak terlepas dari tujuan ini,
bukan semata-mata sebagai perlindungan. Kemudian pada akhirnya
Rasulullah mendapatkan Yatsrib (yang kemudian dinamakan Madinah)
dipandang lain untuk dijadikan basis kekuatan dan tegaknya agama islam
setelah sejumlah penduduknya meyatakan masuk islam serta siap membela
islam dan Rasulullah, baru Beliau dan para Sahabatnya berhijrah. Jadi
yang dituntut terhadap umat Islam sekarang ini adalah menyiapkan
terwujudnya basis kekuatan Islam, baik di Negeri sendiri ataupun di
negeri orang lain. Inilah sebetulnya substansi sekaligus aplikasi hijrah
makaniyah yang merupakan tuntutan Iman.
Dengan demikian umat Islam bisa
keluar secara total dari dominasi pengabdian terhadap manusia menuju
pengabdian hanya kepada Allah dengan mengaplikasikan sistem Islam dalam
semua aspek kehidupan. Atau dengan kata lain terbebas dari ‘Ubudiyah
(pengabdian atau penghambaan) terhadap syaitan menuju pengabdian atau
penghambaan hanya kepada Allah. Syaitan bisa berbentuk Jin dan bisa
berbentuk manusia dengan segala manifestasinya. Firman Allah : “Bukankah
Aku telah memerintahkan kepadamu Hai Bani Adam supaya kamu tidak
mengabdi kepada syaitan ? sesungguhnya syaitan itu musuh nyata bagimu.
Dan hendaklah kamu mengabdi kepada-Ku. Inilah jalan yang lurus”. [QS. Yaasin : 60-61].
Firman Allah yang lain : “Katakanlah hai Ahli Kitab, marilah
(berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan
antara kami dan kamu, bahwa kita tidak mengabdi kecuali kepada Allah
dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula)
sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.” [QS. Ali Imran : 64].
Selain pengertian diatas, dalam terminology Islam, Hijrah juga
mempunyai arti meninggalkan segala bentuk yang dilarang Allah. Dalam
hal ini Rasulullah bersabda : “Orang yang berhijrah itu adalah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah”. [HR. Bukhari dan Muslim].
Meninggalkan segala bentuk yang dilarang Allah kalau dijabarkan bisa
berarti perpindahan seorang muslim dari kufur kepada iman, dari syirik
kepada Tauhid, dari Nifaq kepada Istiqomah, dari maksiat kepada taat,
dari haram kepada halal. Atau dengan singkat perpindahan total seorang
muslim dari kehidupan yang serba jahili menuju kehidupan yang serba
Islami. Hijrah dalam pengertian ini disebut Hijrah maknawiyah (hijrah
mental) atau bisa juga disebut Hijrah Qalbiyah (hijrah hati).
Hijrah
maknawiyah bersifat mutlak, dan kemutlakan berlaku bagi setiap muslim.
Artinya setiap muslim mesti melakukan hijrah maknawiyah ini. Karena
menjadi pribadi muslim yang kaffah atau seorang yang hanya mengabdi
kepada Allah secara totalitas harus didahului dengan hijrah ini. Hijrah
ini mulai awal terangkatnya kehidupan manusia dari kegelapan menuju
cahaya islam, terbebaskannya manusia dengan melakukan hijrah maknawiyah,
tuntutan Allah kepada Umat Islam agar bisa keluar secara total dari
dominasi pengabdian terhadap syaitan dengan segala bentuk dan
manifestasinya menuju pengabdian hanya kepada Allah seperti di jelaskan
diatas, akan segala terpenuhi. Dalam kondisi sekarang ini, dimana kita
hidup dilingkungan masyarakat yang pola kehidupannya banyak yang jauh
dari nilai-nilai Islam, hijrah maknawiyah merupakan suatu keharusan.
Dengan demikian walaupun secara fisik seorang tetap berada
dilingkungannya, namun secara maknawi dia meninggalkan seluruh pola
kehidupan lingkungannya.
Pengertian ini yang dikenal dengan istilah “ Yakhtalithuun walaakin yatamayyazuun”
(bercampur tapi tetap berbeda), ia tetap dalam kepribadian muslimnya,
tanpa harus larut dalam nilai-nilai sekelilingnya. Inilah yang
dipesankan Rasulullah : “Janganlah kamu menjadi orang yang mengekor
(selalu mengikuti orang lain). Kamu mengatakan : Jika mereka berbuat
baik, kami pun berbuat baik ; dan jika mereka berbuat dzalim, kami pun
berbuat dzalim. Tapi perkokohlah dirimu ; jika orang-orang berbuat baik,
hendaknya kamu berbuat baik, tetapi jika mereka berbuat jahat,
janganlah kamu berbuat dzalim”. [HR.Tirmidzi]
Kalau hijrah dalam pengertian ini menjadi keharusan bagi setiap
Muslim secara umum, bagi seorang da’i sudah barang tentu lebih
ditekankan lagi, karena seorang da’i sebagai panutan umat. Diatas
pundaknyalah pertama kali tanggung jawab da’wah dipikulkan. Kalau
kehidupan seorang da’i tidak ada bedanya dengan kehidupan masyarakat
secara umum yang cenderung bebas nilai, siapa lagi yang diharapkan bisa
memperbaiki keadaan masyarakat yang sudah rusak ini.
D. Penutup
Dari pembahasan diatas, menjadi jelas bagi kita bahwa hakikat hijrah
baik makaniyah maupun maknawiyah itu sebenarnya adalah komitmen pada
ketentuan Allah dengan meninggalkan segala bentuk sikap dan perilaku
yang tidak menunujukan ketaatan kepada Allah. Dalam hal ini Rasulullah
bersabda : “Apabila engkau mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka engkau orang yang berhijrah”. [HR.Ahmad dan Bazzar].
“Apabila engkau meninggalkan perbuatan keji, baik yang nyata
maupun yang tersembunyi, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka
engkau orang yang berhijrah”. [HR. Ahmad dan Bazzar].
Karena hakikat hijrah adalah melaksanakan perintah Allah dengan
meninggalkan kemalasan dan kedurhakaan kepada-Nya serta meninggalkan
larangan-larangan-Nya dengan meninggalkan segala bentuk kesukaan atau
kecintaan kita kepada kemaksiatan, maka hijrah itu harus kita lakukan
sepanjang perjalanan hidup kita sebagai muslim, kesemuanya ini tentu
saja menuntut kesungguhan (jihad). Karena itu, iman, hijrah dan jihad
merupakan kunci bagi manusia untuk meraih derajat yang tinggi dan
kemenangan dalam melawan musuh-musuh kebenaran. Allah berfirman :
“Orang-orang
yang beriman , berhijrah dan berjihad dijalan Allah dengan harta dan
diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya disisi Allah; dan itulah
orang-orang yang mendapatkan kemenangan”. [QS.At Taubah : 20].
Komentar
Posting Komentar