B
A B I
KEIMANAN
- A. HUBUNGAN IMAN, ISLAM, IHSAN, DAN HARI KIAMAT (LM. 5)
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا أَبُو حَيَّانَ التَّيْمِيُّ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بَارِزًا يَوْمًا لِلنَّاسِ فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ: مَا الإِيمَانُ قَالَ
الإِيمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَبِلِقَائِهِ
وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ، قَالَ: مَا الإِسْلاَمُ قَالَ: الإِسْلاَمُ أَنْ
تَعْبُدَ اللَّهَ وَلاَ تُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمَ الصَّلاَةَ وَتُؤَدِّيَ
الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ، قَالَ: مَا الإِحْسَانُ، قَالَ:
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ
يَرَاكَ، قَالَ: مَتَى السَّاعَةُ، قَالَ: مَا
الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنْ السَّائِلِ وَسَأُخْبِرُكَ عَنْ
أَشْرَاطِهَا: إِذَا وَلَدَتْ الأَمَةُ رَبَّهَا وَإِذَا تَطَاوَلَ رُعَاةُ
الإِبِلِ الْبُهْمُ فِي الْبُنْيَانِ، فِي خَمْسٍ لاَ يَعْلَمُهُنَّ إِلاَّ
اللَّهُ ثُمَّ تَلاَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ
عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ الآيَةَ ثُمَّ أَدْبَرَ فَقَالَ رُدُّوهُ فَلَمْ
يَرَوْا شَيْئًا فَقَالَ هَذَا جِبْرِيلُ جَاءَ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ (أخرجه البخارى فى
: كتاب الإيمان : 37 . باب سؤال جبريل النبي ص.م. عن الإيمان والإسلام). مسلم: عن
الإيمان: 57. ابو داوود: سنة, 16. ترميذى: الإيمان, 4. ابن ماجه: مقدمة. 9 . احمد
بن حنبل: 1,27,51, 19,29.
1. Artinya
Musaddad
telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Isma’il ibn Ibrahim telah menceritakan
kepada kami, Abu Hayyan al-Taimiy dari Abi Zur’ah telah menyampaikan kepada
kami dari Abu Hurairah r.a berkata: Pada suatu hari ketika Nabi saw. sedang
duduk bersama sahabat, tiba-tiba datang seorang laki-laki dan bertanya, “apakah
iman itu?”. Jawab Nabi saw.: “iman adalah percaya Allah swt., para
malaikat-Nya, dan pertemuannya dengan Allah, para Rasul-Nya dan percaya pada
hari berbangkit dari kubur. ‘Lalu laki-laki itu bertanya lagi, “apakah Islam
itu? Jawab Nabi saw., “Islam ialah menyembah kepada Allah dan tidak
menyekutukan-Nya dengan suatu apapun, mendirikan shalat, menunaikan zakat yang
difardhukan dan berpuasa di bulan Ramadhan.” Lalu laki-laki itu bertanya lagi:
“apakah Ihsan itu?” Jawab Nabi saw., “Ihsan ialah bahwa engkau menyembah kepada
Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, kalau engkau tidak mampu melihat-Nya,
ketahuilah bahwa Allah melihatmu. “Lalu laki-laki itu bertanya lagi: “apakah
hari kiamat itu? “Nabi saw. menjawab: “orang yang ditanya tidak lebih
mengetahui daripada yang bertanya, tetapi saya memberitahukan kepadamu beberapa
syarat (tanda-tanda) akan tibanya hari kiamat, yaitu jika budak sahaya telah
melahirkan majikannya, dan jika penggembala onta dan ternak lainnya telah
berlomba-lomba membangun gedung-gedung megah. Termasuk lima perkara yang tidak
dapat diketahui kecuali oleh Allah, selanjutnya Nabi saw. membaca ayat:
“Sesungguhnya Allah hanya pada sisi-Nya sajalah yang mengetahui hari kiamat…
(ayat).[1] Kemudian
orang itu pergi. Lalu Nabi saw. bersabda kepada para sahabat: “antarkanlah
orang itu. Akan tetapi para sahabat tidak melihat sedikitpun bekas orang itu.
Lalu Nabi saw.bersabda: “Itu adalah Malaikat Jibril a.s. yang datang untuk
mengajarkan agama kepada manusia.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
at-Turmudzi, Ibnu Majah dan Ahmad bin Hambal).
2. Biografi periwayat (lihat
pada halaman lampiran)
3. Penjelasan Singkat
Hadis
di atas mengetengahkan 4 (empat) masalah pokok yang saling berkaitan satu sama
lain, yaitu iman, Islam, ihsan, dan hari kiamat. Pernyataan Nabi
saw. di penghujung hadis di atas bahwa “itu adalah Malaikat Jibril datang
mengajarkan agama kepada manusia” mengisyaratkan bahwa keempat masalah yang
disampaikan oleh malaikat Jibril dalam hadis di atas terangkum dalam istilah ad-din
(baca: agama Islam). Hal ini menunjukkan bahwa keberagamaan seseorang baru
dikatakan benar jika dibangun di atas pondasi Islam dengan segala
kriterianya, disemangati oleh iman, segala aktifitas dijalankan atas
dasar ihsan, dan orientasi akhir segala aktifitas adalah ukhrawi.
Atas
dasar tersebut di atas, maka seseorang yang hanya menganut Islam sebagai agama
belumlah cukup tanpa dibarengi dengan iman. Sebaliknya, iman tidaklah berarti apa-apa
jika tidak didasari dengan Islam. Selanjutnya, kebermaknaan Islam dan iman
akan mencapai kesempurnaan jika dibarengi dengan ihsan, sebab ihsan
mengandung konsep keikhlasan tanpa pamrih dalam ibadah. Keterkaitan
antara ketiga konsep di atas (Islam, iman, dan ihsan) dengan hari
kiamat karena karena hari kiamat (baca: akhirat) merupakan terminal tujuan dari
segala perjalanan manusia tempat menerima ganjaran dari segala aktifitas
manusia yang kepastaian kedatangannya menjadi rahasia Allah swt.
Berikut ini akan dibahas lebih rinci
tentang iman, Islam, ihsan, dan hari kiamat.
a. Iman
Pengertian
dasar dari istilah “iman” ialah “memberi ketenangan hati; pembenaran
hati”.[2] Jadi
makna iman secara umum mengandung pengertian pembenaran hati yang dapat
menggerakkan anggota badan memenuhi segala konsekuensi dari apa yang dibenarkan
oleh hati.[3]
Iman
sering juga dikenal dengan istilah aqidah, yang berarti ikatan, yaitu ikatan
hati. Bahwa seseorang yang beriman mengikatkan hati dan perasaannya dengan
sesuatu kepercayaan yang tidak lagi ditukarnya dengan kepercayaan lain. Aqidah
tersebut akan menjadi pegangan dan pedoman hidup, mendarah daging dalam diri
yang tidak dapat dipisahkan lagi dari diri seorang mukmin. Bahkan seorang
mukmin sanggup berkorban segalanya, harta dan bahkan jiwa demi mempertahankan
aqidahnya.
Adapun
pengertian iman secara khusus sebagaimana yang tertera dalam hadis di atas
ialah: keyakinan tentang adanya Allah swt., malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab
yang diturunkan-Nya, Rasul-rasul utusan-Nya, dan yakin tentang kebenaran adanya
hari kebangkitan dari alam kubur.
Dalam
hadis lain, yang senada dengan hadis di atas yang diriwayatkan oleh Kahmas dan
Sulaiman al-Tamimi, selain menyebutkan kelima hal di atas sebagai kriteria iman,
terdapat tambahan satu kriteria yaitu: beriman kepada qadha dan qadar
Allah, yang baik maupun yang buruk.[4]
Berdasarkan
kedua redaksi hadis tersebut selanjutnya oleh sebagian besar ulama dirumuskan
bahwa jumlah rukun iman adalah enam, yang meliputi:
1) Keyakinan tentang adanya Allah
swt.
2) Keyakinan terhadap
malaikat-malaikat Allah swt.
3) Keyakinan tentang kebenaran
kitab-kitab yang diturunkan-Nya.
4) Keyakinan tentang kebenaran
rasul-rasul utusan-Nya.
5) Keyakinan tentang kebenaran
adanya hari kebangkitan dari alam kubur.
6) Keyakinan kepada qadha dan
qadar Allah, yang baik maupun yang buruk.
Dalam
Alqur’an ditemukan sejumlah ayat yang senada dengan hadis di atas yang
mendeskripsikan tentang konsep keimanan, antara lain firman Allah swt. dalam
QS. Al-Baqarah (2): 285:
Terjemahnya:
Rasul
Telah beriman kepada al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya,
demikian pula orang-orang yang beriman, semuanya beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka
mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang
lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami
taat.” (mereka berdoa): “Ampunilah kami Ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah
tempat kembali.”
Dengan
demikian, keimanan dalam pengertian al-Qur’an adalah pembenaran tentang keesaan
Allah, kebenaran para rasul-Nya, kebenaran akan datangnya hari kemudian, serta
kebenaran segala yang disampaikan oleh para rasul-Nya disertai dengan ketaatan
penuh tanpa ada tawar menawar terhadap apa yang diyakini kebenarannya.
Adapun
keimanan kepada qadha dan qadar secara tekstual tidak tercatat
dalam ayat di atas, tapi tersebar dalam berbagai ayat dalam surah yang berbeda,
dan bahkan dengan arti yang bermacam-macam. Tetapi adapula yang
menafsirkan perkataan “wa ilaika al-mashir” dalam ayat di atas
menunjukkan pula arti mengembalikan segala perkara kepada Allah, termasuk
masalah takdir.
Keenam
pokok keimanan itu yakni: iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
Kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhirat dan qadla-gadar-Nya – dikenal
sebagai arkanul iman (rukun iman) yang menapakan pokok-pokok keimanan.
Karna keenam hal tersebut sebagaimana dijelaskan di atas mempunyai korelasi
yang demikian besar, maka bila menafikan salah satu unsur dari keenam itu akan
menyebabkan kepincangan dalam iman, dan bahkan pula akan menyebabkan keingkaran
kepada Tuhan. Keingkaran kepada hari kiamat umpamanya berarti pula keingkaran
kepada Allah – yang sekaligus ingkar kepada rasul yang menyampaikan berita
tersebut, termasuk kepada malaikat yang menyampaikan wahyu kepada para rasul,
dan peccaya kepada kitab-kitab yang merupakan risalah para rasul itu.
Ketaatan
dalam hubungannya dengan keyakinan mengandung pengertian melaksanakan segala
konsekuensi yang lahir dari keyakinan tersebut dalam bentuk nyata (amal
shaleh). Oleh sebab itu, konsep keimanan dalam aThaba’thaba’i menjelaskan bahwa
setiap al-Qur’an menyebutkan kaum mukminin dengan sifat yang indah,
al-Qur’an dalam banyak ayat selalu dihubungkan dengan karya nyata (amal
shaleh). Sebagai contoh, Allah berfirman dalam QS. An-Nahl (16): 97:
Terjemahnya:
Barangsiapa
yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S. al-Nahl: 97)
Keimanan
dipandang sempurna apabila ada pengakuan dengan lidah, pembenaran dengan hati
secara yakin dan tidak bercampur keraguan, dan dilaksanakan dalam bentuk
perbuatan sehari-hari, serta keimanan tersebut berpengaruh terhadap pandangan
hidup dan cita-cita seseorang.
Meskipun
keimanan merupakan perbuatan hati, tetapi pantulan dari keimanan tersebut
melahirkan perbuatan-perbuatan nyata yang menjadi tuntutan keimanan tersebut.
Oleh sebab itu, al-Quran menjelaskan kewajiban-kewajiban, sikap-sikap, dan
tingkah laku seorang yang harus terwujud dalam diri setiap orang beriman dalam
kehidupannya. Konsep seperti itu misalnya ditemukan dalam firman Allah dalam
QS. al-Mu’minun (23): 1-6 sebagai berikut:
Terjemahnya:
Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam
sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan
perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan
orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka
atau budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada
tercela.
Dalam QS. al-Anfal (8): 2-3 Allah
berfirman:
Terjemahnya:
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah
hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka
(karenanya), dan Hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang
yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang kami
berikan kepada mereka.
Dengan
demikian, iman saja tidaklah cukup, tetapi harus disertai berbagai amal saleh
sebagai perwujudan dari keyakinan tersebut. Sekedar kepercayaan menyangkut
sesuatu, belum dapat dinamai iman, karena iman menghasilkan ketenangan. Karena
itu pula iman berbeda dengan ilmu, karena ilmu tidak jarang menghasilkan
keresahan dalam hati pemiliknya, berbeda dengan iman. Meskipun ilmu diibaratkan
dengan air telaga, tetapi tidak jarang ia keruh. Tetapi iman ketika diibaratkan
dengan air bah dengan gemuruhnya, tetapi ia selalu jernih sehingga menghasilkan
ketenangan.
Disamping
itu, iman dapat diibaratkan sebagai makanan rohani. Jiwa yang kosong dari iman
akan lemah dan hampa sebagaimana jasad yang tidak diberi makan. Dengan
demikian, iman merupakan inti kehidupan batin dan sekaligus menjadi penyelamat
dari siksa abadi di akhirat kelak.
b. Islam
Islam
berasal dari akar kata kerja aslama secara harfiyah berarti kepatuhan
atau tindakan penyerahan diri seseorang sepenuhnya kepada kehendak orang lain.[5] Islam
adalah kepatuhan menjalankan perintah Allah dengan segala keikhlasan dan
kesungguhan hati. Hal itu sesuai dengan arti kata Islam, yakni penyerahan.
Seorang muslim harus menyerahkan dirinya kepada Allah secara total karena
memang manusia diciptakan Allah untuk mengabdi kepada-Nya.
Islam
menurut istilah adalah agama yang dibawa oleh para utusan Allah dan
disempurnakan oleh Rasulullah saw. yang memiliki sumber pokok al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah saw. sebagai petunjuk kepada umat manusia sepanjang masa.
(Q.S. 48: 28, dan 5: 3).
Intisari
Islam sebagai agama adalah keterikatan dan ketundukan pada Allah swt. yang
mempunyai kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi dari manusia dan
bersifat gaib yang dapat ditangkap oleh indera tetapi bisa dirasakan dan
diyakini akan adanya. Tauhid (pengesaan Allah) merupakan seruan pertama dan
terakhir dari Islam. Ia adalah suatu kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa (faith
in the unity of God). Suatu kepercayaan yang menegaskan bahwa hanya
Allah-lah yang mencipta, memberi hukum, mengatur alam semesta ini. Sebagai konsekuensinya
maka hanya Allah pulalah yang satu-satunya yang wajib disembah.
Atas
dasar itulah sehingga Rasulullah saw. dalam hadis di atas menjadikan tauhid (penyembahan
hanya kepada Allah semata) sebagai pilar utama dalam keislaman seorang,
selanjutnya disusul dengan kewajiban-kewajiban yang lain, yaitu mendirikan
shalat, menunaikan zakat yang difardhukan, berpuasa di bulan Ramadhan. Dalam
hadis lain ditambahkan satu kewajiban lagi, yakni menunaikan ibadah haji bagi
yang mampu, sebagaimana dinyatakan dalam hadis berikut:
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى قَالَ أَخْبَرَنَا
حَنْظَلَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ عَنْ عِكْرِمَةَ بْنِ خَالِدٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ
الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ.(رواه البخاري).
Artinya:
‘Abdullah
ibn Musa telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Hanzhalah ibn Abi
Sufyan telah memberitakan kepada kami, dari Ikrimah ibn Khalid, dari ibn Umar
r.a berkata: Rasulullah saw. telah bersabda: “Islam didirikan atas lima
perkara, yakni bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah swt, dan Muhammad adalah
utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan ibadah haji (ke
Baitullah), dan berpuasa dibulan Ramadhan”. (H.R. Al-Bukhari)
Berdasarkan
hadis di atas, ditemukan rumusan yang selanjutnya dikenal dengan rukun Islam,
yaitu:
1) Syahadat (persaksaan keesaan
Allah dan kerasulan Muhammad)
2) Mendirikan salat
3) Menunaikan zakat
4) Puasa pada bulan Ramadhan
5) Menunaikan ibadah haji
Sebagai
agama, hanya Islam-lah yang mendapat pengakuan dan diterima di sisi Allah swt.
Sehubungan dengan hal ini Allah berfirman dalam QS. Ali Imran (3): 19:
Terjemahnya:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai)
di sisi Allah hanyalah Islam”.
Dan Allah berfirman dalam QS. Ali
Imran (3): 85:
Terjemahnya:
“Barangsiapa
mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (Q.S.
Ali Imran: 85)
Pernyataan
al-Qur’an di atas mengisyaratkan bahwa diutusnya Nabi Muhammad saw. bukan untuk
merombak seluruh ajaran yang dibawa oleh para nabi yang datang sebelumnya.
Kedatangan beliau hanya melanjutkan missi yang dibawa oleh Nabi-nabi sebelumnya
dan menyempurnakannya. Oleh sebab itu, inti ajaran, isi dan tujuan agama-agama
samawi sebelum Nabi Muhammad bersifat tidak berubah-ubah, namun teknis dan
pelaksanaannya dapat berubah dengan memperhatikan situasi dan kondisi yang
berkembang. Sehubungan dengan hal ini Allah berfirman dalam QS. asy-Syura (42):
13:
Terjemahnya:
Dia
telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah
kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang
kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).
Berdasarkan
ayat di atas, syariat Islam pada prinsipnya merupakan ajaran yang dibawa oleh
seluruh Rasul Allah, dan Rasulullah saw. diutuslah meletakkan batu terakhir
kesempurnaannya, yang diproklamirkan pada tanggal 9 Zulhijjah, saat Nabi saw.
melaksanakan haji wada’ tiga bulan sebelum wafat dengan turunnya firman
Allah dalam QS. al-Maidah (5): 3:
Terjemahannya :
Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barangsiapa
terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
Seseorang
yang menyandang predikat muslim, harus patuh kepada peraturan-peraturan yang
ditetapkan Allah, hidupnya serasi dengan alam dengan seluruh mahluk, bahkan
hidup serasi dengan diri sendiri (dengan fitrah kesucian).
Islam
sebagai agama mengatur tata cara mengabdi kepada Allah swt. menurut cara yang
diridhai-Nya. Ibadah dalam Islam antara lain bertujuan untuk merekatkan dan
mendekatkan hubungan antara makhluk dengan al-Khalik, supaya manusia senantiasa
mendapat karunia dan ridha-Nya.
Dalam
hubungan dengan sesama manusia, Islam pun mengatur sikap hidup dan tingkah laku
yang baik, dalam lingkungan yang kecil maupun dalam lingkungan masyarakat yang
lebih luas. Dalam Islam, telah diatur pula hubungan dengan anggota masyarakat
yang berbeda agama, bahkan yang tidak beragama sekalipun. Semuanya bertujuan
agar tercipta hubungan yang baik dan harmonis antar sesama manusia.
Islam
juga mengatur hubungan manusia dengan alam dan hewan. Manusia haruslah
memperlakukan hewan secara wajar. Begitu pula dalam pengeksploitasi alam ia
harus mengaturnya sedemikian rupa sehingga tidak merusak lingkungan dan
tercipta lingkungan yang asri dan memberikan kebahagiaan serta kesejahteraan
bagi manusia.
Secara
singkat, dapat dijelaskan bahwa Islam mengatur segala aspek kehidupan, baik
yang berkenaan dengan aqidah (kepercayaan), syariah (ibadah dan muamalah),
akhlak (baik kepada al-Khalik maupun kepada makhluk).
Secara garis besarnya kerangka dasar
Ajaran Islam dapat dilihat pada bagan berikut:
c. Ihsan
Ihsan
secara bahasa berasal dari akar kata
kerja ahsana-yuhsinu, yang artinya adalah berbuat baik, sedangkan
bentuk mashdarnya adalah ihsan yang artinya kebaikan. Mengenai
hal ini, Allah swt. berfirman dalam QS. an-Nahl (16): 90:
Terjemahnya:
Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan ..........”
Ihsan adalah puncak ibadah dan akhlak yang senantiasa menjadi
target seluruh hamba Allah swt. Sebab, ihsan menjadikan kita sosok yang
mendapatkan kemuliaan dari-Nya. Sebaliknya, seorang hamba yang tidak mampu mencapai
target ini akan kehilangan kesempatan yang sangat mahal untuk menduduki posisi
terhormat dimata Allah swt. Rasulullah saw. pun sangat menaruh perhatian akan
hal ini, sehingga seluruh ajaran-ajarannya mengarah kepada satu hal, yaitu
mencapai ibadah yang sempurna dan akhlak yang mulia.
Oleh
karenanya, seorang muslim hendaknya tidak memandang ihsan itu hanya
sebatas akhlak yang utama saja, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari
aqidah dan bagian terbesar dari keislamannya. Karena, Islam dibangun di atas
tiga landasan utama, yaitu iman, Islam, dan ihsan, seperti yang telah
diterangkan oleh Rasulullah saw. yang disebutkan di atas. Rasulullah saw.
menyebut ketiga hal di atas sebagai agama, dan bahkan Allah swt. memerintahkan
untuk berbuat ihsan pada banyak tempat dalam al-Qur`an.
Adapun
pengertian ihsan secara khusus yang disebutkan dalam hadis di atas,
yaitu "menyembah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika
engkau tidak mampu melihatnya, ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat.í"
Pernyataan
menyembah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya", mengandung
arti bahwa dalam menyembah kepada-Nya, kita harus bersungguh-sungguh, serius
dan penuh keikhlasan serta melebihi sikap seorang rakyat jelata ketika
menghadap Raja. Dalam hati harus ditumbuhkan keyakinan bahwa Allah seakan-akan
berada di hadapannya, dan Dia melihat dirinya. Sedangkan pernyataan "jika
engkau tidak mampu melihat-Nya, ketahuilah bahwa Allah melihatmu,"
maksudnya kita harus merasa bahwa Allah selamanya hadir dan menyaksikan segala
perbuatannya.
Menurut
Ibnu Hajar, ihsan berarti berusaha menjaga tata krama dan sopan santun
dalam beramal, seakan-akan kamu melihat-Nya seperti Dia melihat kamu. Hal itu
harus dilakukan bukan karena kamu melihat-Nya, tetapi karena Dia selamanya
melihat kamu. Maka beribadahlah dengan baik meskipun kamu tidak dapat
melihat-Nya.[6]
Ihsan merupakan salah satu faktor utama dalam menentukan diterima
atau tidaknya suatu amal oleh Allah swt. karena orang yang berlaku ihsan dapat
dipastikanj akan ikhlas dalam beramal, sedangkan ikhlas merupakan inti
diterimanya suatu amal ibadah.
Ihsan meliputi tiga aspek
fundamental, yaitu ibadah, muamalah, dan akhlak.
1) Ibadah
Kita
berkewajiban ihsan dalam beribadah, yaitu dengan menunaikan semua jenis
ibadah, seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya dengan cara yang benar,
yaitu menyempurnakan syarat, rukun, sunnah, dan adab-adabnya. Hal ini tidak
akan mungkin dapat ditunaikan oleh seorang hamba, kecuali jika saat pelaksanaan
ibadah-ibadah tersebut ia dipenuhi dengan cita rasa yang sangat kuat
(menikmatinya), juga dengan kesadaran penuh bahwa Allah senantiasa memantaunya
hingga ia merasa bahwa ia sedang dilihat dan diperhatikan oleh-Nya. Minimal
seorang hamba merasakan bahwa Allah senantiasa memantaunya, karena dengan ini
lah ia dapat menunaikan ibadah-ibadah tersebut dengan baik dan sempurna,
sehingga hasil dari ibadah tersebut akan seperti yang diharapkan. Inilah maksud
dari perkataan Rasulullah saw yang berbunyi, “Hendaklah kamu menyembah Allah
seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tak dapat melihat-Nya, maka
sesungguhnya Dia melihatmu.”
Kini
jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya arti dari ibadah itu sendiri sangatlah
luas. Maka, selain jenis ibadah yang kita sebutkan tadi, yang tidak kalah
pentingnya adalah juga jenis ibadah lainnya seperti jihad, hormat terhadap
mukmin, mendidik anak, menyenangkan isteri, meniatkan setiap yang mubah untuk
mendapat ridha Allah, dan masih banyak lagi. Oleh karena itulah, Rasulullah
saw. menghendaki umatnya senantiasa dalam keadaan seperti itu, yaitu senantiasa
sadar jika ia ingin mewujudkan ihsan dalam ibadahnya.
2) Muamalah
Ihsan sebagaimana dijelaskan sebelumnya adalah beribadah kepada
Allah dengan sikap seakan-akan melihat-Nya, dan jika tidak dapat
melihat-Nya, maka Allah melihat kita. Sedangkan ihsan dari segi
muamalah, yang termasuk di dalamnya adalah:
Pertama, Ihsan kepada kedua orang tua
Allah swt. menjelaskan hal ini dalam
QS. al-Isra (): 23-24:
Terjemahnya:
Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah
seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
Perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
Perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan
penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.
Ayat
di atas menjelaskan kepada kita bahwa ihsan kepada ibu-bapak adalah
sejajar dengan ibadah kepada Allah. Dalam sebuah hadist riwayat Turmuzdi,
dari Ibnu Amru bin Ash, Rasulullah saw. bersabda:[7]
عِنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرو بْنِ العَاصِ رضيَ اللهُ
عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: رِضَى اللهُ فِي رِضَى
اْلوَالِدَيْنِ وَسُخْطُ اللهِ فِي سُخْطِ اْلوَالِدَيْنِ
Artinya:
Dari
Abdullah bin Amru bin al-‘Ash r.a dari Nabi saw. bersabda: Keridhaan Allah
berada pada keridhaan orang tua, dan kemurkaan Allah berada pada kemurkaan
orang tua.” (H.R. at-Turmudzi)
Dalil
di atas menjelaskan bahwa ibadah kita kepada Allah tidak akan diterima jika
tidak disertai dengan berbuat baik kepada kedua orang tua. Apabila kita tidak
memiliki kebaikan ini, maka bersamaan dengannya akan hilang ketakwaan,
keimanan, dan keislaman.
Kedua, Ihsan kepada kerabat karib
Ihsan
kepada kerabat adalah dengan jalan membangun hubungan yang baik dengan mereka,
bahkan Allah swt. menyamakan seseorang yang memutuskan hubungan silatuhrahmi
dengan perusak dimuka bumi. Allah berfirman dalam QS. Muhammad (47): 22:
Terjemahnya:
Maka
apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan dimuka bumi dan
memutuskan hubungan kekeluargaan.?
Silaturahmi
adalah kunci untuk mendapatkan keridhaan Allah. Hal ini dikarenakan sebab
paling utama terputusnya hubungan seorang hamba dengan Tuhannya adalah karena
terputusnya hubungan silaturahmi.
Ketiga, Ihsan kepada anak yatim dan fakir miskin
Diriwayatkan oleh Bukhari, Turmudzi,
dan Ibnu Hibban bahwa Rasulullah saw bersabda:
حدثنا عمرو بن بينها أخبرنا عبد العزيز بن أبي حازم عن أبيه عن
سَهْل قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم: أَنَا وَكَافِلُ اليَتِيْمِ
فِي اْلجَنَّةِ هَكَذَا وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَاْلوُسْطَى وَفَرَّجَ
بَيْنَهُمَا شَيْئًا[8]
Artinya:
Dari
Sahl, Rasulullah saw. bersabda: aku dan orang yang memelihara anak yatim di
surga kelak akan seperti ini…(seraya menunjukkan jari telunjuk dan jari
tengahnya dan merenggangkan keduanya).”
Keempat, Ihsan kepada tetangga dekat, tetangga jauh, serta
teman sejawat.
Ihsan
kepada tetangga dekat meliputi tetangga dekat dari kerabat atau tetangga yang
berada di dekat rumah, serta tetangga jauh, baik jauh karena nasab maupun
yang berada jauh dari rumah.
Adapun
yang dimaksud teman sejawat adalah yang berkumpul dengan kita atas dasar
pekerjaan, pertemanan, teman sekolah atau kampus, perjalanan, ma’had, dan
sebagainya. Mereka semua masuk ke dalam katagori tetangga. Seorang tetangga
kafir mempunyai hak sebagai tetangga saja, tetapi tetangga muslim mempunyai dua
hak, yaitu sebagai tetangga dan sebagai muslim, sedang tetangga muslim dan
kerabat mempunyai tiga hak, yaitu sebagai tetangga, sebagai muslim dan sebagai
kerabat. Rasulullah saw. menjelaskan hal ini dalam sabdanya: [9]
حدثنا عاصم بن علي حدثنا بن أبي ذئب عن سعيد عَنْ أَبِي
شُرَيْح أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلمَ قال: وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ
واللهِ لاَ يُؤْمِنُ وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ قِيْلَ وَمَنْ يَا رسولَ اللهِ قالَ
الذي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ (رواه البخاري ومسلم)
Artinya:
Dari
Abu Syuraih bahwa Nabi saw. bersabda: demi Allah, tidak beriman, demi Allah,
tidak beriman. Para sahabat bertanya, “siapakah yang tidak beriman, ya Rasulullah?”
Beliau menjawab, “seseorang yang tidak aman tetangganya dari gangguannya.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Kelima, Ihsan kepada ibnu sabil dan pelayan
Rasulullah saw. bersabda mengenai
hal ini:[10]
حدثنا عبد الله بن محمد حدثنا بن مهدي حدثنا سفيان عن أبي حصين
عن أبي صالح عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ باللهِ وَاْليَوْمِ الآخرِ فَلاَ يُؤْذِ
جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ باللهِ واليَوْمِ الآخرِ فَلْيُكْرْمْ ضَيْفَهُ
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ باللهِ واليومِ الآخرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت
Artinya:
Dari
Abu Hurairah, dari Nabi saw. bersabda: Barangsiapa beriman kepada dan hari
akhiratnya maka janganlah menyakiti tetangganya, dan barangsiapa beriman kepada
Allah dan Hari Akhir, hendaklah memuliakan tamunya, dan barangsiapa beriman
kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah berkata benar atau diam.” (HR. Jama’ah,
kecuali Nasa’i)
Selain
itu, ihsan terhadap ibnu sabil adalah dengan cara memenuhi kebutuhannya,
menjaga hartanya, memelihara kehormatannya, menunjukinya jalan jika ia meminta,
dan memberinya pelayanan.
Adapun
muamalah terhadap pembantu atau karyawan dilakukan dengan membayar gajinya
sebelum keringatnya kering, tidak membebaninya dengan sesuatu yang ia tidak
sanggup melakukannya, menjaga kehormatannya, dan menghargai pridainya. Jika ia
pembantu rumah tangga, maka hendaklah ia diberi makan dari apa yang kita makan,
dan diberi pakaian dari apa yang kita pakai.
Keenam, Ihsan dengan perlakuan dan ucapan yang baik kepada manusia.
Rasulullah
saw. bersabda, sebagaimana disebutkan di atas bahwa: ”Barangsiapa beriman
kepada Allah dan Hari Kiamat, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
Bagi
manusia secara umum, hendaklah kita melembutkan ucapan, saling menghargai dalam
pergaulan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegahnya dari kemungkaran,
menunjukinya jalan jika ia tersesat, mengajari mereka yang bodoh, mengakui
hak-hak mereka, dan tidak mengganggu mereka dengan tidak melakukan hal-hal
dapat mengusik serta melukai mereka.
Ketujuh, Ihsan dengan berlaku baik kepada binatang
Berbuat
ihsan terhadap binatang adalah dengan memberinya makan jika ia lapar,
mengobatinya jika ia sakit, tidak membebaninya diluar kemampuannya, tidak
menyiksanya jika ia bekerja, dan mengistirahatkannya jika ia lelah. Bahkan,
pada saat menyembelih, hendaklah dengan menyembelihnya dengan cara yang baik,
tidak menyiksanya, serta menggunakan pisau yang tajam.
3) Akhlak.
Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan
muamalah. Seseorang akan mencapai tingkat ihsan dalam akhlaknya apabila
ia telah melakukan ibadah seperti yang menjadi harapan Rasulullah dalam hadits
yang telah dikemukakan di awal tulisan ini, yaitu “menyembah Allah
seakan-akan melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka
sesungguhnya Allah senantiasa melihat kita”. Jika hal ini telah dicapai
oleh seorang hamba, maka sesungguhnya itulah puncak ihsan dalam ibadah.
Pada
akhirnya, ia akan berbuah menjadi akhlak atau perilaku, sehingga mereka yang
sampai pada tahap ihsan dalam ibadahnya akan terlihat jelas dalam perilaku dan
karakternya.
Jika
kita ingin melihat nilai ihsan pada diri seseorang—yang diperoleh dari hasil
maksimal ibadahnya, maka kita akan menemukannya dalam muamalah kehidupannya.
Bagaimana ia bermuamalah dengan sesama manusia, lingkungannya,
pekerjaannya, keluarganya, dan bahkan terhadap dirinya sendiri.
d. Hari Kiamat
Percaya
akan datangnya hari kiamat termasuk salah satu rukun iman yang harus diyakini
oleh semua orang yang beriman meskipun tidak ada yang tahu kapan saatnya tiba.
Bagi mereka yang beriman, misteri terjadinya hari kiamat tidak akan mengurangi
kadar keimanannya. Mereka justru lebih waspada dan senantiasa meningkatkan amal
kebaikan untuk bekal menghadapi-Nya.
Namun
demikian, Rasulullah saw. memberikan dua tanda terjadinya kiamat, yakni jika
hamba sahaya telah melahirkan majikannya, dan jika penggembala onta dan ternak
lainnya berlomba-lomba membangun gedung-gedung yang megah dan tinggi.
Menurut
sebagian ahli hadis, tanda-tanda kiamat itu lebih dari dua sebagaimana terdapat
dalam hadis lain. Dengan kata lain, kedua tanda kiamat tersebut merupakan tanda
jangka panjang. Adapun tanda-tanda seperti terbitnya matahari dari arah barat
merupakan tanda jangka pendek.
Akan tetapi, hanya Allah saja yang
tahu mengenai datangnya hari kiamat, sebagaimana tidak ada yang tahu, kecuali
Allah saja tentang turunnya hujan; apa yang ada dalam rahim seorang ibu; apa
yang akan terjadi esok hari; dan di manakah seseorang akan mati, sebagaimana
dinyatakan dalam QS. Luqman (31): 34:
Terjemahnya:
Sesungguhnya
Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat; dan Dia-lah
yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tiada
seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya
besok dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
4. Fiqh al-Hadis
- Iman ialah percaya kepada Allah swt, para malaikat-Nya, pertemuan dengan Allah, para Rasul-Nya, percaya kepada hari berbangkit dari kubur, dan percaya kepada qadha dan qadar. Islam ialah menyembah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun, mendirikan shalat, menunaikan zakat yang difardhukan, berhaji, dan berpuasa di bulan Ramadhan; dan Ihsan ialah menyembah kepada Allah seakan-akan kita melihat-Nya, kalau tidak mampu melihat-Nya, harus diyakini bahwa Allah melihat kita.
- Ketiga hal di atas, ditambah mempercayai terjadinya hari kiamat, yang tidak seorangpun mengetahuinya kecuali Allah swt. merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam membentuk jiwa untuk mengabdi kepada Allah sehingga mendapat keridhaan-Nya.
2.
BERKURANGNYA
IMAN DAN DAN ISLAM KARENA MAKSIAT (LM.36)
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ
قَالَ أَخْبَرَنِي يُونُس عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَلَمَةَ بْنَ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَابْنَ الْمُسَيَّبِ يَقُولاَنِ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
لاَ يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلاَ يَشْرَبُ الْخَمْرَ
حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلاَ يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ
وَهُوَ مُؤْمِنٌ وزاد فى رواية: وَلاَ
يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ النَّاسُ إِلَيْهِ أَبْصَارَهُمْ
فِيهَا حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلاَ يَنْتَهِبُ نُهْبَةً يَرْفَعُ
النَّاسُ إِلَيْهِ فِيهَا أَبْصَارَهُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ (أخرجه البخاري فى
(74): كتاب الأشربة (1)، باب قول الله تعالى: إنماالخمروالميسروالأ نصاب والأزلام
رجس من عمل الشيطان…..)
Artinya
Ahmad
ibn Shalih telah menceritakan kepada kami, Ibn Wahbi telah menceritakan kepada
kami, ia berkata bahwa Yunus telah menceritakan kepadaku dari Abi Syihab, ia
berkata bahwa aku telah mendengar Abu Salamah ibn ‘Abd al-Rahman dan ibn
al-Musayyab berkata bahwa Abu Hurairah r.a berkata bahwa Nabi saw.telah
bersabda, “tidak akan berzina seseorang jika ia sedang beriman, dan tidak akan
meminum khamar seseorang jika ia sedang beriman, dan tidak akan mencuri
sesseorang jika ia sedang beriman”. Pada riwayat lain ditambahkan, “Dan tidak akan
merampas rampasan yang berharga sehingga orang-orang membelalakkan mata
kepadanya ketika merampas jika ia sedang beriman”.
2. Biografi Perawi (lihat halaman lampiran).
3. Penjelasan Singkat
Orang
yang beriman akan merasa bahwa segala tingkah lakunya senantiasa diawasi oleh
Allah swt. Tidak ada suatu perbuatan yang ia lakukan luput dari pengawasan
Allah swt. Di samping itu, ia selalu sadar bahwa segala perbuatan yang
dilakukannya harus dipertanggung jawabkan dihadapan-Nya, dan ia sendiri yang
akan menerima akibat dari perbuatannya, baik ataupun buruk, sekecil apapun
perbuatan itu. Hal ini disinyalir Allah dalam QS. az-Zalzalah (99): 7-8:
Terjemahnya:
Barangsiapa
yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah-pun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun,
niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.
Atas
dasar kesadaran tersebut, maka orang yang benar-benar beriman senantiasa
berusaha mengerjakan perbuatan yang baik dan menghindari perbuatan yang
dilarang oleh Allah swt. Seorang yang beriman tidak mungkin dengan sengaja
melakukan maksiat kepada Allah, karena ia merasa malu dan takut menghadapi
azab-Nya serta takut tidak mendapatkan ridha-Nya.
Sebaliknya,
orang yang tidak beriman kepada Allah swt. akan merasa bahwa hidupnya di dunia
tidak memiliki beban apa-apa. Ia hidup semaunya, dan yang penting baginya
adalah ia merasa senang dan bahagia. Ia tidak memikirkan kehidupan setelah mati
kelak karena ia tidak mempercayainya. Dengan demikian, perbuatannya pun tidak
terlalu dipusingkan oleh masalah baik ataupun buruk. Kalaupun ia melakukan
suatu perbuatan baik, maka perbuatannya tersebut bukan karena mengharapkan ridha
Allah swt. karena ia tidak percaya kepada-Nya.
Adapun
bagi mereka yang menyatakan dirinya beriman, tetapi sering melakukan perbuatan
dosa/maksiat, mereka merasa dan mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukannya
adalah perbuatan dosa, tetapi mereka tidak berusaha untuk mencegah dirinya dari
perbuatan tersebut. Hal itu antara lain karena kuatnya godaan setan dan
besarnya dorongan hawa nafsu untuk melakukan perbuatan maksiat. Dalam keadaan
seperti ini, ia tetap beriman, hanya saja keimanannya lemah (berkurang).
Semakin sering melakukan perbuatan dosa, semakin lemah pula imannya.
Keimanan
seseorang adakalanya bertambah dan adakalanya berkurang (الإِيْمَانُ يَزْدَادُ وُيَنْقُصُ). Oleh sebab itu, seyogyanya setiap orang beriman berusaha
untuk senantiasa memperbaharui keimanan dan ke-Islamannya. Hal ini bisa
dilakukan antara lain dengan selalu mengingat Allah dan mengerjakan perbuatan
baik yang dan diridhai-Nya. Dengan demikian, keimanannya relatif akan stabil.
Selain
itu, ia pun harus selalu ingat bahwa sekecil apapun perbuatan maksiat itu, maka
ia akan mendapatkan balasan-Nya. Meskipun di dunia dapat selamat dari akibat
kemaksiatan yang dilakukannya, tapi ia tidak dapat mengelak dari balasan di
akhirat kelak. Allah berfirman dalam QS. an-Nisa’ (4): 14:
Terjemahnya:
Dan
barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang
ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.
Namun
demikian, jika seorang hamba mau bertobat, selain ia kan mendapat ampunan
Allah, juga dipastikan imannya akan kembali utuh. Allah berfirman dalam QS.
al-A’raf (7): 153:
Artinya:
Orang-orang
yang mengerjakan kejahatan, Kemudian bertaubat sesudah itu dan beriman;
Sesungguhnya Tuhan kamu sesudah Taubat yang disertai dengan iman itu adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Tobat
yang akan mendapat ampunan Allah swt. tentu saja tobat yang dilakukan dengan
sungguh-sungguh, yang dalam istilah al-Qur’an disebut tobat nasuha.
(Q.S. 66: 8).
4. Fiqh al-Hadis
Hadis
di atas mengisyaratkan bahwa keimanan seseorang akan terpantul dalam bentuk
amal shaleh. Oleh sebab itu, meningkat atau menurunnya amal shaleh yang
diperbuat merupakan indikator menurun dan berkurangnya iman.
Orang
yang betul-betul beriman tidak mungkin secara sengaja mengerjakan maksiat.
Dengan demikian, seorang mukmin yang melakukan perbuatan dosa seperti zina,
mencuri, membunuh dan kemaksiatan-kemaksiatan lainnya, berarti dia sedang tidak
beriman atau imannya berada dalam titik terendah. Oleh karena itu, seyogianya
setiap orang yang beriman selalu memperbaharui keimanannya dengan selalu
mengingat Allah dan melakukan berbagai perintah-Nya.
3.
RASA
MALU SEBAGIAN DARI IMAN (LM.22)
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا
مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ
أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى
رَجُلٍ مِنْ الأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِي الْحَيَاءِ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنْ
الإِيمَانِ. (أخرجه البخاري فى : ۲- كتاب
الإيمان :۱٦ باب الحيا ء من الإيمان).
Artinya
‘Abdullah
ibn Yusuf telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Malik ibn Anas telah
mengabarkan kepada kami dari ibn Syihab dari Salim ibn ‘Abdillah dari ayahnya
bahwa Nabi SAW melewati (melihat) seorang lelaki kaum Anshar yang sedang
menasehati saudaranya karena malu, maka Nabi SAW telah bersabda: “Biarkanlah ia
karena sesungguhnya malu itu sebagian dari iman”.
2. Biografi periwayat (lihat halaman lampiran)
3. Penjelasan Singkat
Tujuan
utama dari Risalah Islamiyah adalah untuk membentuk Insan Kamil, yaitu manusia
yang seluruh aspek hidup dan kehidupannya telah dijiwai oleh iman, Islam dan
ihsan. Missi yang diemban Rasulullah berorientasi pada prinsipnya
merujuk kepada tujuan global, yaitu untuk menyempurnakan akhlak yang mulia
dalam pengertian yang sangat luas.
Rasa
malu merupakan salah satu sifat yang dianugerahkan Allah kepada manusia dan
sekaligus merupakan salah satu sifat yang membedakan manusia dengan binatang.
Kadar rasa malu pada tiap-tiap orang berbeda-beda, dan motif yang menyebabkan
orang malu juga sangat variatif. Dengan demikian, malu kadang yang dapat
dikategorikan sebagai sifat yang baik, dan adapula kalanya dapat dikategorikan
sebagai sifat tercela. Oleh sebab itu, sifat ini harus ditempatkan secara
proporsional.
Malu
bukan hanya merupakan sifat dasar manusia, kan tetapi lebih dari itu termasuk
dalam salah satu ciri orang yang beriman dan simbol keberimanan seseorang. Oleh
sebab itulah sehingga Rasulullah dalam hadis di atas menjadikan rasa malu
sebagai bagian dari iman.
Namun
demikian, malu yang dimaksud dalam hadis di atas bukan dalam arti bahasa,
tetapi arti malu di sini adalah malu dalam mengerjakan hal-hal yang jelek dan
bertentangan dengan syariat maupun norma-norma etika Islam. Hal itu dipertegas
oleh hadis lain:
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ
أَبِي السَّوَّارِ الْعَدَوِيِّ قَالَ سَمِعْتُ عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ قَالَ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِي
إِلاَّ بِخَيْرٍ فَقَالَ بُشَيْرُ بْنُ كَعْبٍ مَكْتُوبٌ فِي الْحِكْمَةِ إِنَّ
مِنْ الْحَيَاءِ وَقَارًا وَإِنَّ مِنْ الْحَيَاءِ سَكِينَةً فَقَالَ لَهُ
عِمْرَانُ أُحَدِّثُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَتُحَدِّثُنِي عَنْ صَحِيفَتِكَ. (متفق عليه).
Artinya :
Adam
telah menceritakan kepada kami, Syu’bah telah menceritakan kepada kami, dari
Qatadah dari Abi al-Sawwar al-‘Adawiy ia berkata bahwa ia telah mendengar Imran
bin Husain r.a berkata bahwa Rasulullah SAW telah telah bersabda: “Malu itu
tidak aka menimbulkan sesuatu kecuali kebaikan semata.” (H.R. Bukhari dan
Muslim)
Sehubungan
dengan makna malu sebagaimana yang disebutkan di atas, ulama merumuskan
definisi malu sebagai berikut:
حَقِيْقَة
ُاْ لحَيَاءِ خُلُقٌ يَبْعَث ُعَلَى تَرْ كِ اْلقَبِيْحِ وَيَمْنَعُ مِنَ
التَّقْصِيْرِفِى حَقِّ ذِى اْلحَقِّ
Artinya:
“Hakikat
malu adalah sifat atau perasaan yang mendorong untuk meninggalkan perbuatan
jelek dan menghalangi mengurangi hak orang lain”
Menurut
Abu al-Qasim (Junaid), perasaan malu akan timbul bila memandang budi kebaikan
dan melihat kekurangan diri. Hampir senada dengan itu, al-Hulaimy berpendapat
bahwa hakikat malu adalah rasa takut untuk melaksanakan kejelekan. Di antara
ulama, ada pula yang berpendapat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar
dalam kitab Fathu al-Bary bahwa merasa malu dalam mengerjakan perbuatan
haram adalah wajib; dalam mengerjakan pekerjaan makruh adalah sunnah; dan dalam
mengerjakan perbuatan yang mubah adalah kebiasaan/adat. Perasaan malu seperti
itulah yang merupakan salah satu cabang iman.[11]
Berdasarkan
pengertian-pengertian yang dikemukakan ulama sebagaimana disebutkan di atas,
dapat dipahami bahwa malu dalam melakukan perbuatan baik tidak termasuk dalam
kategori malu pada hadis ini. Demikian pula, tidak termasuk dalam kategori ini
jika malu untuk melarang orang lain berbuat kejelekan, karena Allah swt.
sendiri tidak malu menerangkan kebenaran. Sehubungan dengan hal ini Allah swt.
berfirman dalam QS. al-Ahzab (33): 53:
Terjemahnya:
Dan Allah tidak malu (menerangkan)
yang benar…
Al-Faqih
Abu Laits al-Samarqandi mengklasifikasin malu dalam syari’at Islam menjadi dua,
yaitu:[12]
- Malu kepada Allah swt., maksudnya ialah malu melakukan maksiat kepada Allah karena menyadari besarnya nikmat Allah swt. yang dianugerahkan kepadanya.
- Malu kepada sesama manusia, maksudnya menutup mata dari hal-hal yang tidak berguna.
Malu
merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi manusia. Oleh sebab itu, jika
manusia telah kehilangan rasa malunya, maka ia tidak ada lagi bedanya dengan
binatang. Kehilangan rasa malu akan menyebabkan orang menjadi permissif,
sehingga membenarkan segala cara demi untuk kepuasan naluri kemanusiaannya dan
bahkan naluri dankebinatangan yang ada pada dirinya.
Berbagai
penyimpangan yang terjadi terhadap hak-hak Allah dan hak-hak sesama manusia
banyak dipengaruhi oleh hilangnya rasa malu pada manusia. Ketiadaan rasa malu
kepada Allah menyebabkan seseorang melakukan kemaksiatan kepada Allah, dan
ketiadaan rasa malu kepada Allah dan sesama manusia menyebabkan orang
memperkosa hak-hak sesama manusia.
4. Fiqh al-Hadis
Malu
dalam arti sebenarnya (menurut pandangan Islam) adalah malu dalam melakukan
hal-hal yang dilarang oleh Allah swt. dan yang dipandang jelek oleh manusia.
Adapun orang yang merasa malu untuk melakukan perbuatan baik atau malu menegur
orang yang melakukan kejelekan tidak termasuk malu dalam kategori ini, tetapi
justru termasuk perbuatan tercela.
[1]Ayat yang
dibaca Nabi saw. tersebut terdapat dalam QS. Luqman (31): 34. Arti selengkapnya
ayat tersebut: “ Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah
pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan
mengetahui apa yang ada dalam rahim, dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui
(dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok, dan tiada seorangpun yang
dapat mengetahui di bumi mana Dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal”.
[2]Abu
al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya al-Raziy, Mu’jam Maqayis al-Lugah, juz
I, (Cet. I; Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1999), h. 72.
[3]Ahmad bin
Ali bin Hajar Abu al-Fadhl al-‘Asqalaniy al-Syafi’i, Fath al-Bariy, juz
I, ditahqiq oleh Muhammad Fuad Abd al-Baqiy dan Muhib al-Din al-Khathib,
(Beirut: Dar al-Ma’rifat, 1379 H.), h. 48.
[4] Hadis
tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab al-Iman, Abu Dawud dalam
kitab awwal kitab al-sunnah, dan Imam dalam Musnad Umar bin al-Khattab.
[5]Toshihiko
Izitsu, Ethico Religiuous Concepts in the Qur’an, diterjemahkan oleh
Agus Fahri Husain dkk., dengan judul Konsep-konsep Etika Religius
dalam Qur’an, (Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), h. 226.
[6] Ibid.,
h 120.
[7]Muhammad
bin Ismailm al-Shan’aniy, Subul al-Salam, Juz IV, (Cet. IV; Beirut: Dar
Ihya al-Turats al-Arabiy, 1379 H.), h. 164.
[8]Muhammad
bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz V, (Cet. III;
Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987), h. 2032; Muhammad bin Isa Abu Isa at-Turmudzi, Sunan
at-Turmudzi, juz IV, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabiy, t.th.), h. 321;
Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim at-Tamimi al-Busti, Shahih Ibnu
Hibban, juz II, (Cet. II; Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993), h. 207.
[9]Muhammad
bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, op.cit., h. 2240;
Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairiy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
juz I, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabiy, t.th.), h. 68.
[10]Muhammad
bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, op.cit., h. 2273.
[11] Ibn Hajar
al-Asqalany, op.cit., h. 75.
[12]Al-Faqih
Abu Laits Samarqandi, Tanhibul Ghafilin (Pembangun Jiwa Moral Umat)
penerjemah Abu Imam Taqiyuddin (Malang: Dar al-Ihya, 1986) h.. 474.
Permisi Numpang Promo
BalasHapusRefiza Souvenir menyediakan paket undangan pernikahan cantik nan elegan, paket yasin untuk souvenir acara pengajian tahlilan dan berbagai macam souvenir tasbih cantik dan elegan untuk oleh-oleh haji dan umroh. cek katalog kami di www.refiza.com