A.
PENDAHULUAN
Mayoritas umat Islam sepakat bahwa hadis
adalah merupakan sumber hukum yang sangat penting sebagai pedoman utama
ajaran Islam setelah al-Qur’an. Dengan kata lain bahwa, al-qur’an merupakan
sumber ajaran Islam yang pertama, sedangkan hadis Nabi saw. adalah merupakan
sumber ajaran Islam yang kedua.[1] Hal ini sebagaimana di
jelaskan dalam al-Qur’an surat al-Hasyr : 7;
“ Apa yang di berikan rasul kepadamu maka
terimalah dia, dan apa yang di larangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”.[2] [3]
Berdasarkan petunjuk ayat tersebut di atas,
jelaslah bahwa untuk mengetahui petunjuk hukum yang benar dalam ajaran Islam,
di samping harus berpegang teguh pada al-Qur’an juga harus berpegang teguh pada
hadis Nabi Saw. Dalam hal ini Nabi saw. sendiri telah menginformasikan
kepada umatnya bahwa, di samping al-Qur’an masih terdapat satu pedoman yang
sejenis dengan al-Qur’an, yakni al-hadis. Sebagaimana sabdanya mengatakan:
“ Wahai Umatku, sungguh aku telah di beri
al-Qur’an dan yang menyamainya”. (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Turmuziy ).[4]
Jadi tidak di ragukan lagi bahwa yang di
maksud dengan “menyamai” atau semisal al-Qur’an dalam matan hadis di atas
adalah hadis Nabi saw. Mengingat peran hadis yang begitu penting sebagai sumber
hukum Islam setelah al-Qur’an, mengharuskan adanya penelitian yang mendalam
sebagai upaya menjaga kualitas kemurnian, keotentikan, dan kesahihannya.
Sehingga secara legal hadis-hadis yang telah terseleksi keotentikannya dapat di
pertanggung jawabkan sebagai hujjah dalam menetapkan suatu hukum.
Langkah penelitian terhadap kualitas hadis menjadi sangat penting, mengingat
bahwa latar belakang sejarah penghimpunan hadis baru terjadi pada akhir tahun
100 H. (awal akhir abad ke II H.), atas perintah Khalifah Umar Ibn ‘Abd al-Azis
yang memerintah sekitar tahun 717-720 M.[5]
Dengan melihat jauhnya jarak antara masa
kehidupan Nabi saw. dengan masa perhimpunan hadis-hadis tersebut, tidak menutup
kemungkinan terjadinya berbagai manipulasi, pemalsuan, dan penyimpangan
terhadap matan hadis dan lain sebagainya. Sehingga menyebabkan kualitas hadis
menjadi berbagai macam bentuknya, ada yang di anggap sahih, hasan maupun
da’if. Perlu di jelaskan di sini bahwa terjadinya kualitas hadis hasan
adalah merupakan pecahan dari kualitas hadis da’if yang di
pergunakan sebelum masanya al-Turmuziy.[6]
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut,
maka adanya usaha penelitian penelusuran terhadap hadis-hadis yang di
pergunakan untuk menetapkan hukum, terutama yang berhubungan dengan masalah :
Larangan menerima hadiah bagi para pejabat dalam melaksanakan tugasnya, tidak
menutup kemungkinan akan menghasilkan pernyataan kualitas hadis yang berbagai
macam. Apakah hadis –hadis yang di jadikan sebagai landasan hukum
tersebut berkualitas sahih, hasan ataupun da’if. Oleh karena itu
untuk menggunakan kapasitas sebuah hadis dalam kualifikasi sahih, hasan atau
da’if, tidak bisa tidak kecuali harus melakukan verifikasi melalui penelitian
baik terhadap sanad maupun terhadap matan hadis. Dimana proses ini merupakan
upaya untuk memastikan paling tidak menduga secara kuat bahwa, hadis-hadis di
maksud benar-benar berasal dari Nabi saw. sehingga secara otentik bisa menjadi hujjah
bagi penetapan hukum dalam Islam sekaligus dapat di pertanggung jawabkan
kevaliditasannya.
B.PEMBAHASAN SANAD DAN MATAN
HADIS TENTANG LARANGAN MENERIMA HADIAH BAGI PARA PEJABAT
Kata takhrij yang sering di artikan
sebagai : al-Istimbat ( mengeluarkan dari sumbernya), al- Tadrib
( latihan ), dan al-Tawjih (pengarahan),[7] ialah penelusuran atau
pencarian hadis pada berbagai kitab hadis sebagai sumber asli dari hadis, yang
di dalamnya di kemukakan secara lengkap matan dan sanad hadis yang
bersangkutan. Kemudian guna kepentingan penelitian, maka akan di jelaskan
hingga kualitas hadis yang di jadikan obyek penelitian.
Adapun metode takhrij al-Hadis yang
akan di pergunakan dalam menelusuri hadis-hadis tentang : Larangan
menerima hadiah bagi para pejabat, adalah terdapat dua macam metode, yakni :
(1) Metode takhrij melalui lafal-lafal yang terdapat dalam hadis (takhrij
al- hadis bi alfaz), yaitu adanya upaya pencarian hadis pada kitab-kitab
hadis dengan cara menulusuri matan hadis yang bersangkutan.[8] (2) Dengan metode
takhrij melalui tema hadis (tematik) (takhrij al-hadis bi al-mawdu’),
yakni upaya pencarian hadis pada kitab-kitab hadis berdasarkan topik masalah
yang di bahas dalam sejumlah matan hadis.[9]
Untuk penggunaan metode yang pertama, penulis
merujuk pada kamus hadis al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadis al-Nabawiy,
dan untuk metode yang ke dua penulis merujuk kepada kitab : Miftah Kunuz
al-Sunnah, yang keduanya di susun oleh Arnold John Wensinck (w.1939 M.) dan
J.P. Mensing.
Jika di tempuh melalui metode lafal dari
berbagai riwayat yang terkait dengan matan hadis tentang larangan menerima
hadiah bagi pejabat, di temukan di dalamnya beberapa kata kunci, seperti
: ? ????? ?? ??? – ? ??? - ??????? , sedangkan
jika di tempuh dengan metode tematik , maka berbagai riwayat hadis yang
di cari di temukan pada topik : ?????? ?? ??? ( ??? ?????? ) – ?? ? ??
?????? ??? ??? ? ?? ???? ????????????? – ?? ? ???? ???? ? ???? ?? ??? ??[10] , dan setelah di
telusuri ternyata data yang di peroleh menunjukkan bahwa hadis –hadis tentang
larangan menerima hadiah bagi para pejabat di muat dalam beberapa kitab hadis.
Adapun kitab hadis di maksud berikut jumlah periwayatnya , masing-masing
terdapat pada :
- Sahih al-Bukhariy, yakni memuat satu riwayat yang terdapat dalam “kitab al-aiman”, bab III.
- Sunan al-Darimiy, memuat dua riwayat, yaitu terdapat dalam kitab “al-Zakat” bab 30, dan dalam kitab “al-Sair” bab 52.
Dengan demikian hadis-hadis tentang larangan
menerima hadiah bagi para pejabat yang berhasil di kumpulkan sesuai petunjuk
kedua kamus hadis (al-Mu’jam dan Miftah) tersebut di atas hanya
di temukan sekitar 3 riwayat dalam 2 kitab hadis.
C.Susunan Sanad dan Matan
Hadis Tentang Larangan Menerima Hadiah Bagi Pejabat
Hadis Riwayat al-Bukhariy Pada Kitab al-Aiman
:
Abu al-Yaman menceritakan kepada kami,
Syu’aib memberitakan kepada kami, dari al-Zuhriy dia berkata : ‘Urwah
memberitakan kepadaku, dari Abi Humaid al-Saidiy, dia telah memberitakannya,
sesungguhnya Rasulullah Saw. mengangkat seorang amil (pegawai) untuk menertima
sedekah/zakat. Kemudian setelah selesai dari pekerjaannya dia datang kepada
Rasulullah Saw. dan berkata: Ini untukmu dan yang ini hadiah yang di berikan
orang kepadaku. Maka Rasulullah Saw. bersabda kepadanya: Mengapakah anda tidak
duduk saja di rumah bapak atau ibumu untuk melihat apakah di beri hadiah atau
tidak. Kemudian sesudah shalat Rasulullah Saw. berdiri setelah tasyahud dan
memuji Allah selayaknya lalu bersabda: Amma ba’du, mengapakah seorang ‘amil
yang di serahi mengurus pekerjaannya, kemudian ia datang lalu berkata, ini
hasil untuk kamu dan ini aku di beri hadiyah, mengapa ia tidak duduk-duduk saja
di rumah bapak atau ibunya untuk mengetahui apakah di beri hadiah atau tidak.
Demi Allah yang jiwa Muhammad di tangan-Nya. Tiada seorang yang menyembunyikan
sesuatu untuk di ambil hasilnya (korupsi), melainkan ia akan menghadap di hari
kiamat nanti memikul di atas lehernya, jika berupa onta akan bersuara, jika
berupa lembu akan menguak, dan jika berupa kambing akan mengembik. Maka sungguh
aku telah menyampaikan ; Abu Humaid berkata: Kemudian Rasulullah Saw.
mengangkat kedua tangannya, hingga aku dapat melihat putih kedua ketiaknya.
Berkata pula Abu Humaid, sungguh hal itu telah mendengar bersamaku Zaid ibn
Sabit dari Nabi Saw.
D.Kualitas Hadis – Hadis Tentang
Larangan Menerima Hadiah Bagi Para Pejabat
Dalam bab ini, penelitian sanad di lakukan
terhadap hadis yang berasal dari periwayat terakhir (Mukharrij al-Hadis) dari
jalur Imam al-Darimiy bersama periwayat-periwayat di atasnya seperti : Abu
al-Yaman, Syu’aib, al-Zuhriy, ‘Urwah dan Abu Humaid al-Saidiy.
Untuk mempermudah proses kegiatan peninjauan
terhadap sanad-sanad hadis tentang larangan menerima hadiah bagi para pejabat,
berikut ini akan di buatkan skema untuk keseluruhan sanad yang terkait baik
dari jalur periwayat al-Bukhariy maupun sanad hadis yang berasal dari
jalur al-Darimiy :
Pada skema gambar di atas tercantum
seluruh sanad (nama periwayat) dan lafal-lafal penerima riwayat ( sigat
al-Tahammul) , seperti lafal: Haddasaniy, haddasana (sana),
akhbaraniy, akhbarana (ana), ‘an, dan anna, adalah merupakan tanda
penghubung antara periwayat yang satu dengan periwayat yang lain . Dalam skema
juga kelihatan adanya seorang sahabat yang berfungsi sebagai periwayat tingkat
pertama, yakni Abu Humaid al-Saidiy. Pada tingkat kedua, ketiga, keempat dan
pada tingkat ke lima masing-masing terdapat satu orang periwayat. Itu berarti
apabila di lihat dari segi banyak dan sedikitnya sanad atau rawiy, hadis
tentang larangan menerima hadiah bagi para pejabat adalah termasuk klasifikasi
hadis ahad.
Yang di maksud hadis ahad menurut istilah
adalah, hadis yang diriwayatkan oleh orang seorang atau dua orang atau lebih ,
akan tetapi belum cukup syarat padanya untuk di masukkan sebagai yang mutawwatir.[14] Adapun sanad hadis
yang sedang di jadikan obyek penelitian ini adalah termasuk dalam katagori hadis
ahad yang garib. Menurut istilah Fatchur Rahman yang di maksud
dengan hadis garib ialah :
“Hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang
yang menyendiri dalam meriwayatkan, dimana saja penyendirian dalam sanad itu
terjadi”.
Jadi kegariban tersebut sesungguhnya hanya
terletak pada sanad (rawiy) saja, bukan terletak pada matan hadis, sebab tidak
di temukan adanya lafal yang sulit atau tidak populer atau tidak di muat dalam
sanad-sanad yang lain. Dan yang di maksudkan dengan penyendirian (ifrad)
rawiy disini ialah karena tidak adanya orang lain yang meriwayatkan selain
rawiy itu sendiri, dimana penyendirian itu dapat terjadi pada tingkat tabi’iy,
tabi’it tabi’iy atau dapat juga terjadi pada seluruh rawiy rawiy pada tiap-tiap
tabaqat, kecuali pada tingkat sahabat.
Berdasarkan Kritik Sanad
Sanad yang di pilih untuk di teliti langsung
sebagaimana yang tertera pada skema sanad di atas adalah dari jalur periwayatan
Imam al-Darimiy, kemuan keatas hingga tabaqat pertama pada seorang sahabat Nabi
Saw. yakni Abu Humaid al Saidiy.
al – Darimiy.[16]
Nama lengkapnya adalah ‘Abd Allah bin ‘Abd
al-Rahman bin al-Fadl bin Bahram bin ‘Abd al-Samad al-Darimiy al-Tamimiy Abu
Muhammad al-Samarkandiy (181-255 H.). Dalam riwayat hidupnya, dia pernah
berguru kepada ‘Abd al-Yaman , dan salah seorang muridnya yang terkenal adalah
al-Bukhariy. Al-Darimiy adalah termasuk periwayat hadis yang berkualitas siqat.
Hal ini dapat di pahami dari beberapa pernyataan ahli kritik hadis tentang
dirinya, seperti : (1) Ahmad bin Hambal, bahwa al-Darimiy ialah seorang Imam.
(2) Ahmad bin Sayyar (w. 268 H.), bahwa al-Darimiy adalah orang yang
berpengetahuan luas, dengan karya besarnya telah menyusun kitab al-Musnad dan
al-Tafsir. (3) al-Khatib al-Bagdadiy (w.463 H.), bahwa al-Darimiy adalah orang
yang senang mengembara mencari hadis Nabi, mengumpulkan dan menghafalkannya.
Dan dia itu termasuk orang yang siqat, sidq, wara’ dan zuhud.[17] Tidak ada seorangpun
yang mencela pribadi al-Darimiy, sebaliknya pujian yang di berikan kepadanya
adalah pujian yang berperingkat tinggi dan tertinggi. Oleh karena itu, di
yakini bahwa al-Darimiy adalah benar-benar menerima hadis dari abu al-Yaman.
Hal ini di dukung oleh lambang periwayatan yang digunakan adalah dengan lafal “akhbarana”,
yang dimungkinkan dengan metode al-Sama’, al-Qira’ah atau dengan al-Ijazah.
Yang berarti pula bahwa antara al-Darimiy dengan abu al-Yaman terjadi persambungan
sanad.
Abu al-Yaman.[18]
Nama lengkapnya adalah al-Hakam bin Nafi’
al-Bahraniy abu al-yaman al-Himsiy (w.221/222 H.). Dia menerima hadis dari
Syu’aib bin Abi Hamzah, dan murid yang meriwayatkan hadisnya adalah al-Bukhariy
dan al-Darimiy.
Para kritikus hadis memberi penilaian
terhadap diri Abu al-Yaman dengan pernyataan sebagai berikut : (1) Ahmad ibn
Hambal bertanya : Bagaimana caranya kamu mendengar ( menerima) hadis dari
Syu’aib ? Abu al-Yaman menjawab : Sebagian dengan cara al-Qira’ah.[19] Yang dimaksud dengan al-qira’ah
ialah periwayat menghadapkan riwayat hadis kepada guru hadis dengan cara
periwayat itu sendiri yang membacanya atau orang lain yang membacakannya,dan ia
mendengarkan. Cara ini biasa di sebut “al-‘ard” (penyodoran). (2) Abu
Hatim dan Muhammad bin ‘Abd Allah bin ‘Ammar al-Musiliy mengatakan bahwa, Abu
al-Yaman adalah orang yang siqat.[20]
Berdasarkan pernyataan para ahli kritikus
hadis tersebut, maka dapat di simpulkan bahwa, Abu al-Yaman adalah periwayat
hadis yang memiliki kualitas pribadi yang baik, lebih-lebih lambang periwayatan
yang di gunakan adalah lafal “akhbarana”, yang di mungkinkan ia menerima hadis
tersebut dengan al-sama’, al-qira’ah atau dengan cara al-ijazah.[21] Maksud dari pada
al-ijazah ialah, seorang guru hadis memberikan izin kepada seseorang untuk
meriwayatkan hadis yang ada padanya, baik melalui lesan maupun tulisan. Dan
mayoritas ‘Ulama membolehkan cara al-ijazah ini bahkan menilainya cukup
terpercaya untuk periwayatan hadis.
Dengan demikian bahwa, Abu al-Yaman adalah
seorang yang benar-benar telah menerima hadis dari gurunya, yang berarti pula
bahwa, sanad hadis yang ada di antara keduanya adalah bersambung dan dapat di
percaya.
Syu’ayb.[22]
Nama lengkapnya adalah Syu’ayb bin Abi Hamzah
Dinar al-Amawiy Mawlahum Abu Bisyr al-Himsiy (w.162 H.). Dia menerima hadis
dari al-Zuhriy, dan muridnya yang meriwayatkan hadisnya adalah Abu al-Yaman.
Ibn Ma’in, al-‘Ijliy, Ya’qub bin Syaybah, Abu
Hatim dan al-Nasa’iy, menilai Syu’ayb bersifat siqat. Lebih lanjut Ibn
Ma’in menjelaskan bahwa dia termasuk orang yang asbat pada al-Zuhriy dan
menjadi sekretarisnya. Ahmad menilai bahwa, Syu’ayb itu sabt, salih al-hadis,
dia penulis dengan penuh kecermatan (dabit). Abu al-Yaman menilai,
Syu’ayb itu sangat ketat dalam hadis. Dan Abu Dawud juga menjelaskan bahwa,
Syu’ayb adalah asakh hadisan min al-Zuhriy.[23] Kecuali itu tak
seorangpun dari ahli kritik hadis yang mencela pribadi Syu’ayb. Dan pujian yang
di berikan kepadanya adalah berperingkat tinggi. Dengan melihat hubungan pribadinya
dengan al-Zuhriy yang begitu akrab dengan menggunakan lambang periwayatan “akhbarana”,
maka diyakini bahwa Syu’ayb benar-benar telah menerima hadis dari gurunya,
yakni al-Zuhriy. Yang berarti pula bahwa sanad diantara keduanya adalah
bersambung.
Al-Zuhriy.[24]
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muslim
bin ‘Ubayd Allah bin ‘Abd Allah bin Syihab bin ‘Abd Allah bin al-Haris bin
Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Galib al-Quraisiy al-Zuhriy Abu Bakr
al-Madaniy (50-124 H.). Ia lebih populer dengan nama Ibn Syihab atau al-Zuhriy.
Ia menerima hadis dari ‘Urwah, sedangkan muridnya yang meriwayatkan hadisnya
adalah Syu’ayb.
Al-Zuhriy adalah periwayat hadis yang di andalkan
kejujuran dan kedabitannya. Hal itu diakui para ahli kritikus hadis seperti :
(1) Ibn Sa’ad, bahwa al-Zuhriy adalah orang yang siqat, ilmuwan,
periwayat yang faqih dan jami’. (2) Abu al-Zinad, bahwa al-Zuhriy
adalah orang yang paling berilmu di masanya, ia dapat menulis apa yang pernah
di dengarnya dan menjadi hujjah. (3) Al-Lays menyatakan bahwa, saya tidak
pernah melihat orang yang pintar melebihi al-Syihab.[25] (4) Ibn Manjuwiyah
juga menyatakan bahwa, al-Zuhriy adalah orang yang pernah bertemu dengan
sepuluh sahabat Nabi, dan dia adalah yang paling hafiz pada masanya.[26]
Berdasarkan penilaian para kritikus hadis
tersebut, menunjukkan bahwa al-Zuhriy adalah seorang tabi’in kecil yang
berkualitas siqat. Dia menerima hadis dari ‘Urwah (seorang tabi’in
besar) dengan lambang periwayatan “’an” yang dipercaya dan di yakini
bahwa antara keduanya terjadi persambungan sanad.
‘Urwah.[27]
Dia adalah ‘Urwah bin al-Zubayr bin al-
‘Awwam bin Khuwaylid bin Asad bin ‘Abd al-‘Uzza al-Qurasyiy al-Asadiy, Abu ‘Abd
Allah al-Madaniy (22-92 H.). Sebagai seorang tabi’in besar yang teruji
kualitasnya, ‘Urwah termasuk periwayat hadis yang banyak menerima hadis dari
‘Aisyah (bibinya), di samping berguru kepada Asma bint Abi Bakr (ibunya)
sendiri, juga kepada Abu Humaid al-Saidiy. Sedang murid-muridnya adalah
al-Zuhriy, Hisyam (putranya) dan lain-lain.
Menurut penilaian ahli kritik hadis, ‘Urwah
termasuk periwayat hadis yang terpuji. Hal itu sebagaimana di kemukakan oleh :
(1) Ibn Sa’ad, menempatkannya sebagai al-tabaqat al-saniyah (tingkat
kedua) dari penduduk Madinah. ‘Urwah adalah seorang yang siqat,
faqih,ma’mun, ‘alim dan sabt. (2) al-Ijliy mengatakan bahwa, ‘Urwah
adalah tabi’in yang siqat, saleh dan tidak pernah terkena fitnah. (3)
Sufyan bin Uyaynah (w.198 H.), mengatakan: hanya ada tiga orang yang paling
mengetahui hadis ‘Aisyah, yaitu : al-Qasim bin Muhammad, ‘Urwah bin al-Zubayr,
dan ‘Amrah bint ‘Abd al-Rahman. (4) Sedang ibn Hibban memasukkan ‘Urwah kedalam
orang yang siqat. Dia adalah penduduk Madinah yang sangat utama dan
cendekiawan.[28]
Sebagai seorang tabi’in besar yang pada
umumnya langsung menerima hadis dari para sahabat Nabi, adalah tidak di ragukan
lagi kebenarannya bahwa, sanad antara ‘Urwah dengan sahabat Abu Humaid
al-Saidiy adalah benar-benar bersambung.
Abu Humaid.[29]
Dia adalah Humaid bin Nafi’ al-Ansariy Abu
Aflah al-Madaniy Maula Safwan bin Aus. Abu Humaid adalah seorang sahabat Nabi
yang sering bersama-sama sahabat Zaid ibn Sabit, salah seorang yang di
percaya Nabi Saw. sebagai sekretarisnya sejak berumur 11 tahun. [30] Salah satu murid Abu
Humaid yang sangat siqat, faqih, ma’mun dan ‘alim yang menerima riwayatnya
adalah ‘Urwah bin al-Zubayr.
Abu Humaid di samping sebagai sahabat nabi
Saw. juga sebagai periwayat hadis yang memiliki keadilan dan kekuatan hafalan
yang dapat di andalkan. Hal ini dapat di fahami dari beberapa pernyataan dari
‘ulama rijal al-hadis, seperti :Zainab bint Umm Salamah, Imam al-Nasa’iy,
al-Bukhariy, Muslim, dan ibn Hibban, bahwa Abu Humaid adalah seorang sahabat
yang siqat.[31] Tidak ada seorang ahli
rijal al-hadis yang mencela pribadinya. Dan dengan melihat hubungannya yang
sering bersama-sama Nabi dan para sahabat Nabi lainnya, dapatlah di nyatakan bahwa
hadis yang sanadnya di teliti saat ini adalah terjadi persambungan antara
periwayat (Abu Humaid) dengan Nabi Saw.
Apabila di cermati secara seksama keseluruhan
sanad sebagaimana yang tertera pada gambar skema sanad tersebut di atas ,
adalah memiliki integritas pribadi yang terpuji, tidak mengandung syaz
dan ‘illat ( mengandung kejanggalan dan kecacatan ), karena seluruh
periwayatnya dapat di andalkan kejujuran dan kekuatan hafalannya ( siqat
) kemudian sanad satu dengan yang lain pun bersambungan (muttasil).
Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa hadis riwayat al-Darimiy yang tengah
di teliti saat iniadalah telah memenuhi syarat-syarat sebagai sanad hadis yang
memiliki kualitas ”Sahih”.
Berdasarkan Penelitian Matan
Penelitian terhadap matan di pandang sangat
penting , mengingat kedudukan matan hadis bisa mempengaruhi kualitas kesahihan
hadis. Dimana suatu hadis barulah dapat dinyatakan berkualitas sahih,
apabila sanad dan matan hadis tersebut sama-sama berkualitas
sahih.[32] Jadi hadis yang
sanadnya sahih tetapi matannya tidak sahih (da’if) atau sebaliknya,
yakni sanadnya da’if, tetapi matannya sahih, maka hadis yang demikian
tidak dapat di nyatakan sebagai hadis sahih.
Untuk mengetahui bahwa, suatu matan hadis itu
berkualitas sahih, minimal matan tersebut harus memenuhi empat macam tolok
ukur, di antaranya: (1) Tidak bertentangan dengan al-Qur’an. (2) Tidak
bertentangan dengan hadis mutawwatir. (3) Tidak bertentangan dengan ijma’
‘Ulama, dan (4) Tidak bertentangan dengan logika yang sejahtera.[33] Musthafa al-Siba’iy
menambahkan bahwa, suatu matan hadis dapat dinilai berkualitas palsu (tidak
berasal dari rasul), apabila matan hadis tersebut : (1) Memiliki susunan
gramatika sangat jelek. (2) Maknanya sangat bertentangan dengan pendapat akal.
(3) Menyalahi al-Qur’an yang tegas maksudnya. (4) Menyalahi kebenaran sejarah
yang telah terkenal di zaman Nabi. (5) Bersesuaian dengan pendapat orang yang
meriwayatkannya, sedang orang tersebut terkenal sangat fanatik terhadap
mazhabnya. (6) Mengandung suatu perkara yang seharusnya di beritakan oleh orang
banyak, tetapi ternyata hanya di riwayatkan oleh seorang saja. (7) Mengandung
berita tentang pemberian pahala yang besar untuk perbuatan yang kecil, atau
ancaman siksa yang berat terhadap suatu perbuatan yang tidak berarti.[34]
Berdasarkan kriteria kesahihan matan yang di
jadikan tolok ukur sebagaimana kriteria-kriteria tersebut di atas, maka dapat
di simpulkan bahwa, matan hadis tentang larangan menerima hadiah bagi para
pejabat yang di riwayatkan oleh imam al-Darimiy adalah matan hadis yang tidak
bertentangan sama sekali dengan tolok ukur kesahihan matan hadis. Dan dapat di
nyatakan sebagai matan hadis yang berkualitas sahih (benar-benar berasal dari
Nabi Saw.).
Berdasarkan Pemahaman Secara Tekstual dan
Secara Kontekstual
Pemahaman Secara Tekstual
Secara tekstual terdapat beberapa kata kunci
dalam matan hadis yang dijadikan obyek penelitian, di antaranya : (
terangkatnya seorang pegawai,pejabat, pekerja atau orang yang di serahi
tanggung jawab untuk melaksanakan tugas, kemudian menmerima hadiah, tetapi
berkesan menyembunyikan sesuatu untuk di ambil hasilnya atau berkhianat dalam
arti populer terindikasi melakukan korupsi), maka Nabi Saw. dengan tegas hingga
di nyatakan dua kali dengan menggunakan kata “isim istifham” (kata untuk
bertanya) seperti kata-kata , yang menurut ahli Ushul mempunyai arti “ al-Nahyi”
atau larangan yang bersifat “taubikh” (menegur).[35] Larangan tersebut terlihat
pada sikap ketidak relaan Nabi ketika menerima laporan dari seorang pegawai
yang menerima hadiah ketika ia sedang menjalankan tugasnya.
Dengan demikian secara tekstual hukum bagi
seorang pegawai atau pejabat yang menerima hadiah menurut hadis al-Darimiy
adalah tidak boleh atau “haram hukumnya”.
b. Pemahaman Secara Kontekstual
Secara kontekstual, sesungguhnya makna hadis
dari al-Darimiy adalah di tunjukkan kepada orang banyak, tidak mengkhusus
kepada hukum seorang pegawai atau pejabat yang menerima hadiah, tetapi lebih
bersifat umum. Hal itu terbukti dari asbab al-nuzul hadis tersebut pernah di
sampaikan Nabi Saw. ketika selesai turun dari mimbar shalat, dengan nada
ketidak puasan nabi kepada seorang pegawai yang telah melapor kepada-nya
di hadapan orang banyak. Sesungguhnya dasar hukum yang melarang seorang
menerima hadiah, adalah lebih di sandarkan atau di qiyaskan kepada
kasus seorang pegawai yang karena jabatan atau pekerjaannya, sehingga
seorang datang memberikan hadiah kepadanya bukan karena dasar
sukarela, tetapi di curigai oleh Nabi Saw. mempunyai maksud-maksud
tertentu, hubungan tertentu atau latar belakang tertentu, dengan istilah
populer hadiah yang di terimanya itu terindikasi berbau kolusi, nepotisme
dan individualistis. Jadi apabila seseorang menerima hadiah dari orang yang
memberi hadiah kepadanya bukan karena niat atau maksud-maksud tertentu , tetapi
atas dasar sukarela dan bertujuan untuk memuliakan serta hanya mengharap rida
Allah Swt. Maka pemberian hadiah atau penerimaan hadiah seperti ini adalah
tidak termasuk katagori yang di larang sebagaimana hukum yang terkandung dalam
hadis riwayat Imam al-Darimiy.
KESIMPULAN
Dengan selesainya pembahasan tentang
penelitian metodologis hadis masalah korupsi, kolusi, nepotisme dan individualistis,
yakni studi kasus atas hadis Abu al-Humaidiy tentang larangan menerima hadiah
bagi pejabat dalam melaksanakan tugasnya, dapat di simpulkan beberapa hal
penting sebagai berikut :
- Mengingat peran al-Hadis yang begitu penting sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur’an, mengharuskan adanya langkah penelitian yang mendalam sebagai upaya untuk menjaga kualitas kemurnian, keotentikan dan kesahihannya. Sehingga dapat di pertanggung jawabkan sebagai dasar penetapan hukum dalam Islam.
- Sesungguhnya hadis riwayat al-Darimiy yang di jadikan sebagai landasan hukum tentang larangan menerima hadiah bagi para pejabat, apabila di lihat dari kualitas sanad, maupun matannya adalah berkualitas sahih, walaupun masuk dalam katagori hadis ahad. Sehingga dengan demikian keabsahannya sebagai landasan hukum Islam dapat di terima .
- Secara tekstual maupun secara kontekstual, isi kandungan hadis yang di riwayatkan oleh Imam al-Darimiy , berintikan adanya larangan memberi atau menerima suatu hadiah yang di latar belakangi oleh adanya maksud atau niat tertentu, hubungan tertentu yang dalam istilah populer sekarang terkenal dengan adanya indikasi suap, kolusi, nepotisme dan individualistis di dalamnya. Sedang pemberian atau penerimaan hadiah yang di sebabkan oleh adanya latar belakang dasar suka rela, untuk memuliakan satu dengan yang lainnya, dan untuk menjalin perdamaian diantara sesama yang di lakukan semata-mata mengharap rida Allah Swt. Maka pemberian atau penerimaan hadiah semacam ini tidak termasuk dalam larangan, bahkan sangat di anjurkan oleh Nabi Saw.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Adlabiy, Salah al-Din bin Ahmad. Manhaj
Nadq al-Matn. Beirut:Dar al-Afaq al-Jadidah, 1403 H./1983 M.
Al-‘Asqalaniy, Syihab al-Din Ahmad bin ‘Ali
bin Hajar. Tahzib al-Tahzib. Jilid III, IV, V, VI, dan VII. Beirut: Dar
al-Fikr, 1404 H./1984 M.
Al-Baghdadiy, Abu Bakar Ahmad bin ‘Ali
al-Khatib. Tarikh Bagdad aw Madinah al-Salam, Juz X. al-Madinah
al-Munawwarah: al-Maktabah al-salafiyyah,t.th.
‘Abd al-Hadi, Abu Muhammad ‘Abd al-Muhdi bin
‘Abd al-Qadir. Turuq Takhrij Hadis Rasulullah Saw. di terjemahkan
oleh H.S. Agil Husain Munawwar dan H.Ahmad Rifqi Muchtar. Metode Takhrij
Hadis. Semarang: Dina Utama, 1994.
Al-Darimiy, al-Imam al-Kabir ‘Abd Allah bin
‘Abd al-Rahman bin al-Fadil bin Bahram ibn ‘Abd al-Samad al-Tamimiy
al-Samarqandiy. Sunan al-Darimiy. Dar al-Fikr: al-Tab’ah wa al-Nasyr wa
al-Tawziy, t.th.
Al-Bukhariy, Abi ‘Abd Allah Muhammad bin
Ismail bin Ibrahim ibn al-Mughirah. Sahih al-Bukhariy, al-Juz VII.
Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H./1981 M.
Al-Sijistaniy, Abu Dawud Sulayman ibn
al-Asy’as. Sunan Abu Dawud, Juz IV. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Al-Suyutiy, Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman bin
Abi Bakr. Tabaqat al-Huffaz. Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1403
H./1983 M.
Al-Tahhan. Usul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid.
Halb : Matba’at al-Arabiyyah, 1398 H./1979.
Al-Zahabiy, Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Ahmad
bin ‘Usman.Siyar A’lam al-Nubala’. Cet.ke-VII; Beirut: Mu’assasat
al-Risalah, 1410 H./1990 M.
As-Siba’iy, Musthafa. As-Sunnah wa
Makanatuha Fit-Tasyri’il Islamiy. Al-Darul Qaumiyyah, t.th.
Amin,Ahmad. Islam Dari Masa Ke Masa.
Cet.ke-1 ; Bandung: CV Rasyda, 1987.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan
Terjemahnya, Edisi Refisi. Surabaya: Pen. Mahkota, 1989.
Hanafi, A. Ushul Fiqh. Cet. Ke-7;
Jakarta: Widjaya, 1980.
Ibn Taymiyah,Taqiy al-Din Ahmad ibn ‘Abd
al-Halim. Majmu’ Fatawa li Ibn Taymiyah, Juz I. T.t.: Matabi’ Dar
al-Arabiyyah, 1398 H.
Ibn Al-Salah. ‘Ulum al-Hadis.
Al-Madinat al-Munawwarah: al-Maktabah al-Ilmiyyah, 1972.
Ismail, M.Syuhudi. Kaidah Kesahihan Sanad
Hadis (Telaah Kritis dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah).
Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
———————-. Cara Praktis Mencari Hadis.
Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
———————-. Pengantar Ilmu Hadis. Cet.
Ke-2; Bandung: Angkasa, 1991.
Rahman, Fatchur. Ikhtisar Mushthalhul
Hadits. Cet.ke-7 ; Bandung: PT Al-Ma’arif, 1991.
Wensinck, Arnold John. Concordance et
Indices de La Tradition Musulmane, di terjemahkan oleh Muhammad Fu’ad ‘Abd
al-Baqiy dengan judul, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadis
al-Nabawiy, Juz IV. Leiden : E.J. Brill, 1943.
[1] Lihat M. Syuhudi
Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah)( Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 85-8.
[2] Departemen Agama RI., Al-Qur’an
Dan Terjemahnya, Edisi Revisi ( Surabaya: Pen.Mahkota, 1989),h.916.
[4] Lihat Abu Dawud
Sulayman Ibn al-Asy’as al-Sijistaniy, Sunan Abu Dawud, Juz IV (
Beirut:Dar al-Fikr, t.th.), h. 328.
[5] Lihat Ahmad Amin , Islam
Dari Masa Ke Masa ( Cet. Ke-1; Bandung: CV. Rasyda, 1987), h. 104.
[6] Lihat Taqiy al-Din
Ahmad Ibn ‘Abd al-Halim Ibn Taymiyah, Majmu’ Fatawa Li Ibn Taymiyah, Juz
I (T.t.: Matabi’ Dar al-Arabiyyah, 1398 H.), h. 252.
[7] Lihat al-Tahhan, Usul
al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid (Halb : Matba’at al-‘Arabiyyah, 1398
H./1979 M.), h. 9.
[8] Lihat M. Syuhudi
Ismail, Cara Praktis Mencari Hadis ( Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h.
17.
[9] Lihat Abu Muhammad ‘Abd
al-Muhdi bin ‘Abd al-Qadir bin ‘Abd al-Hadi, Turuq Takhrij Hadis
Rasulullah Saw., di terjemahkan oleh H.S. Agil Husain Munawwar dan H. Ahmad
Rifqi Muchtar, Metode Takhrij Hadis ( Cet. Ke-1; Semarang:Dina Utama,
1994), h. 122.
[10] Lihat Arnold John
Wensinck, Concordance et Indices de La Tradition Musulmane, di
terjemahkan oleh Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqiy dengan judul, al-Mu’jam
al-Mufahras li Alfaz al-Hadis al-Nabawiy, Juz IV ( Leiden:
E.J.Brill, 1943),h. 377.
[11] Lihat Abi ‘Abd Allah
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim ibn al-Mughirah al-Bukhariy, Sahih
al-Bukhariy, al-Juz VII ( Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H./1981 M.), h. 219.
[12] Lihat al-Imam al-Kabir
‘Abd Allah bin ‘Abd al-Rahman bin al-Fadil bin Bahram ibn ‘Abd al-Samad
al-Tamimiy al-Samarqandiy al-Daramiy, Sunan al-Darimiy (Dar al-Fikr:
al-Taba’ah wa al-Nasyr wa al-Tawziy, t.th.), h. 232.
[13] Ibid., h. 394.
[14] Lihat M. Syuhudi
Ismail, Pengantar Ilmu Hadis ( Cet. Ke-2; Bandung: Angkasa, 1991) , h.
141.
[15] Lihat Fatchur Rahman, Ikhtisar
Mushthalahul Hadits ( Cet. Ke-7 ; Bandung: PT Al-ma’arif,1991),h. 77.
[16] Lihat Syihab al-Din
Ahmad bin ‘Ali Ibn Hajar al-Asqalaniy, Tahzib al-Tahdib, Jilid V (
Cet.1; Beirut: Dar al-Fikr al-Thaba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauziy, 1984 M./1404
H.), h. 258.
[17] Lihat Abu Bakar Ahmad
bin ‘Ali al-Khatibal-Bagdadiy, Tarikh Bagdad aw Madinah al-Salam, Juz X
(al-Madinah al-Munawwarah: al-Maktabah al-Salafiyyah, t.th.), h.29 dan 32.
[18] Lihat al-Asqalaniy,
Op.Cit., Jilid II, h. 379.
[19] Lihat Abu ‘Amir
‘Usmanbin ‘Abd al-Rahman ibn al-Salah, ‘Ulum al-Hadis ( al-Madinat
al-Munawwarah: al-Maktabah al-Ilmiyyah, 1972 M.), h. 122.
[20] Lihat Abu ‘Abd Allah
Muhammad bin Ahmad bin ‘Usman al-Zahabiy, Siyar A’lam al-Nubala’
(Cet.ke-VII; Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 1410 H./1990 M.), h. 320-24.
[21] Lihat Ibn al-Salah, Op.Cit.,
h. 56.
[22] Lihat al-Asqalaniy, Op.Cit.,
Jilid IV, h. 307.
[23] Lihat al-Asqalaniy, Ibid.,
h. 308.
[24] Lihat al-Zahabiy,
Siyar, Juz V, Op.Cit., h. 326-28.
[25] Lihat al-Asqalaniy, Op.Cit.,
h. 397-98.
[26] Lihat Jalal al-Din
‘Abd al-Rahman bin Abi Bakr al-Suyutiy, Tabaqat al-Huffaz (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1403 H./1983 M.), h.49-50.
[27] Lihat al-Asqalaniy, Op.Cit.,
Jilid VII, h. 163-66.
[28] Lihat
al-Zahabiy, Siyar, Op.Cit.,h. 436.
[29] Lihat al-Asqalaniy, Op.Cit.,
Jilid III. , h. 44.
[30] Lihat al-Asqalaniy, Op.Cit.,
Jilid IV, h. 344.
[31] Ibid., Jilid
III, h. 44
[32] Lihat Salah al-Din bin
Ahmad al-Adlabiy, Manhaj al-Naqd al-Matn ( Beiru: Dar al-Afaq
al-Jadidah, 1403 H./1983 M.),h.254.
[33] Lihat M.Syuhudi
Ismail, Pengantar Ilm Hadis, Op.Cit., h.178.
[34] Lihat Musthafa
As-Siba’iy, As-Sunnah wa Makanatuha Fit – Tasyri’il Islamiy (al-Darul
Qaumiyyah, t.th.), h. 369.
[35] Lihat A. Hanafie, Ushul
Fiqh (Cet.ke-7; Jakarta:Widjaya, 1980),h.50.
[36] Sholeh
Ahmad
[ ص: 307 ] باب نهي الحاكم عن الرشوة واتخاذ حاجب لبابه في مجلس حكمه
3896 - ( عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : { لعنة الله على الراشي والمرتشي في الحكم } رواه أحمد وأبو داود والترمذي ) . 3897 - ( وعن عبد الله بن عمرو قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : { لعنة الله على الراشي والمرتشي } رواه الخمسة إلا النسائي وصححه الترمذي ) . 3898 - ( وعن ثوبان قال : { لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الراشي والمرتشي والرائش ، يعني الذي يمشي بينهما } رواه أحمد ) . 3899 - ( وعن عمرو بن مرة قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : { ما من إمام أو وال يغلق بابه دون ذوي الحاجة والخلة والمسكنة إلا أغلق الله أبواب السماء دون خلته وحاجته ومسكنته } رواه أحمد والترمذي ) . |
| ||
[ ص: 307 ] بَابُ نَهْيِ الْحَاكِمِ عَنْ الرِّشْوَةِ وَاِتِّخَاذِ حَاجِبٍ لِبَابِهِ فِي مَجْلِسِ حُكْمِهِ 3896 - ( عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : { لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي فِي الْحُكْمِ } رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ ) . 3897 - ( وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : { لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي } رَوَاهُ الْخَمْسَةُ إلَّا النَّسَائِيّ وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ ) . 3898 - ( وَعَنْ ثَوْبَانَ قَالَ : { لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ ، يَعْنِي الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا } رَوَاهُ أَحْمَدُ ) . 3899 - ( وَعَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : { مَا مِنْ إمَامٍ أَوْ وَالٍ يَغْلِقُ بَابَهُ دُونَ ذَوِي الْحَاجَةِ وَالْخَلَّةِ وَالْمَسْكَنَةِ إلَّا أَغْلَقَ اللَّهُ أَبْوَابَ السَّمَاءِ دُونَ خَلَّتِهِ وَحَاجَتِهِ وَمَسْكَنَتِهِ } رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالتِّرْمِذِيُّ ) . |
| ||
[ ص: 307 ] باب نهي الحاكم عن الرشوة واتخاذ حاجب لبابه في مجلس حكمه 3896 - ( عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : { لعنة الله على الراشي والمرتشي في الحكم } رواه أحمد وأبو داود والترمذي ) . 3897 - ( وعن عبد الله بن عمرو قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : { لعنة الله على الراشي والمرتشي } رواه الخمسة إلا النسائي وصححه الترمذي ) . 3898 - ( وعن ثوبان قال : { لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الراشي والمرتشي والرائش ، يعني الذي يمشي بينهما } رواه أحمد ) . 3899 - ( وعن عمرو بن مرة قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : { ما من إمام أو وال يغلق بابه دون ذوي الحاجة والخلة والمسكنة إلا أغلق الله أبواب السماء دون خلته وحاجته ومسكنته } رواه أحمد والترمذي ) . |
الحاشية رقم: 1 |
حديث أبي هريرة أخرجه أيضا ابن حبان وصححه وحسنه الترمذي . وقد عزاه الحافظ في ( بلوغ المرام ) إلى أحمد والأربعة وهو وهم ، فإنه ليس في سنن أبي داود غير حديث ابن عمرو المذكور ، ووهم أيضا بعض الشراح فقال : إن أبا داود زاد في روايته لحديث ابن عمرو لفظ " في الحكم " وليست تلك الزيادة عند أبي داود بل لفظه { لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الراشي والمرتشي } قال ابن رسلان في شرح السنن : وزاد الترمذي والطبراني بإسناد جيد " في الحكم " وحديث ابن عمرو أخرجه أيضا ابن حبان والطبراني والدارقطني قال الترمذي : وقواه الدارمي . وإسناده لا مطعن فيه ، فإن أبا داود قال . : حدثنا أحمد بن يونس ، يعني اليربوعي : حدثنا ابن أبي ذئب عن الحارث بن عبد الرحمن ، يعني القرشي العامري خال ابن أبي ذئب ذكره ابن حبان في الثقات عن أبي سلمة ، يعني ابن عبد الرحمن عن عبد الله بن عمرو بن العاص . وحديث ثوبان أخرجه أيضا الحاكم وفي إسناده ليث بن أبي سليم قال البزار : إنه تفرد به . وقال في مجمع الزوائد : إنه أخرجه أحمد والبزار والطبراني في الكبير ، وفي إسناده أبو الخطاب وهو مجهول ا هـ . وفي الباب [ ص: 308 ] عن عبد الرحمن بن عوف عند الحاكم وعن عائشة وأم سلمة أشار إليهما الترمذي . قال في التلخيص : ينظر من خرجهما . وحديث عمرو بن مرة أخرجه أيضا الحاكم والبزار وفي الباب عن أبي مريم الأزدي مرفوعا أخرجه أبو داود والترمذي بلفظ { من تولى شيئا من أمر المسلمين فاحتجب عن حاجتهم وفقيرهم احتجب الله دون حاجته } قال الحافظ في الفتح : إن سنده جيد . وعن ابن عباس عند الطبراني في الكبير بلفظ { أيما أمير احتجب عن الناس فأهمهم احتجب الله عنه يوم القيامة } قال ابن أبي حاتم : هو حديث منكر قوله : ( على الراشي ) هو دافع الرشوة ، والمرتشي : القابض لها ، والرائش : هو ما ذكره في الرواية التي في الباب قال ابن رسلان : ويدخل في إطلاق الرشوة للحاكم والعامل على أخذ الصدقات وهي حرام بالإجماع ا هـ . قال الإمام المهدي في البحر في كتاب الإجارات منه : مسألة : وتحرم رشوة الحاكم إجماعا لقوله صلى الله عليه وسلم : " لعن الله الراشي والمرتشي " قال الإمام يحيى : ويفسق للوعيد . والراشي إن طلب باطلا عمه الخبر . قال المنصور بالله وأبو جعفر وبعض أصحاب الشافعي : وإن طلب بذلك حقا مجمعا عليه جاز . قيل : وظاهر المذهب المنع لعموم الخبر وإن كان مختلفا فيه كالباطل إذ لا تأثير لحكمه ا هـ . قلت : والتخصيص لطالب الحق بجواز تسليم الرشوة منه للحاكم لا أدري بأي مخصص ، فالحق التحريم مطلقا أخذا بعموم الحديث ، ومن زعم الجواز في صورة من الصور فإن جاء بدليل مقبول وإلا كان تخصيصه ردا عليه ، فإن الأصل في مال المسلم التحريم : { ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل } لا يحل مال امرئ مسلم إلا بطيبة من نفسه " وقد انضم إلى هذا الأصل كون الدافع إنما دفعه لأحد أمرين : إما لينال به حكم الله إن كان محقا وذلك لا يحل لأن المدفوع في مقابلة أمر واجب أوجب الله عز وجل على الحاكم الصدع به ، فكيف لا يفعل حتى يأخذ عليه شيئا من الحطام وإن كان الدفع للمال من صاحبه لينال به خلاف ما شرعه الله إن كان مبطلا فذلك أقبح لأنه مدفوع في مقابلة أمر محظور فهو أشد تحريما من المال المدفوع للبغي في مقابلة الزنا بها ; لأن الرشوة يتوصل بها إلى أكل مال الغير الموجب لإحراج صدره والإضرار به بخلاف المدفوع إلى البغي ، فالتوسل به إلى شيء محرم وهو الزنا لكنه مستلذ للفاعل والمفعول به ، وهو أيضا ذنب بين العبد وربه ، وهو أسمح الغرماء ليس بين العاصي وبين المغفرة إلا التوبة ، ما بينه وبين الله وبين الأمرين بون بعيد ومن الأدلة الدالة على تحريم الرشوة ما حكاه ابن رسلان في شرح السنن عن الحسن وسعيد بن جبير أنهما فسرا قوله تعالى: { أكالون للسحت } بالرشوة . وحكي عن مسروق عن ابن مسعود أنه لما سئل عن السحت : أهو الرشوة ؟ فقال : لا { ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون ، } والظالمون ، والفاسقون ولكن السحت [ ص: 309 ] أن يستعينك الرجل على مظلمته فيهدي لك فإن أهدى لك فلا تقبل وقال أبو وائل شقيق بن سلمة أحد أئمة التابعين : القاضي إذا أخذ الهدية فقد أكل السحت ، وإذا أخذ الرشوة بلغت به الكفر . رواه ابن أبي شيبة بإسناد صحيح ا هـ . ما حكاه ابن رسلان . ويدل على المنع من قبول الهدية من استعان بها على دفع مظلمته ما أخرجه أبو داود عن أبي أمامة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : { من شفع لأخيه شفاعة فأهدى له هدية عليها فقبلها فقد أتى بابا عظيما من أبواب الربا } وفي إسناده القاسم بن عبد الرحمن أبو عبد الرحمن الأموي مولاهم الشامي وفيه مقال . ويدل على تحريم قبول مطلق الهدية على الحاكم وغيره من الأمراء حديث { هدايا الأمراء غلول } أخرجه البيهقي وابن عدي من حديث أبي حميد قال الحافظ : وإسناده ضعيف ولعل وجه الضعف أنه من رواية إسماعيل بن عياش عن أهل الحجاز . وأخرجه الطبراني في الأوسط من حديث أبي هريرة ، قال الحافظ : وإسناده أشد ضعفا . وأخرجه سنيد بن داود في تفسيره عن عبيدة بن سليمان عن إسماعيل بن مسلم عن الحسن عن جابر وإسماعيل ضعيف وأخرجه الخطيب في تلخيص المتشابه من حديث أنس بلفظ { هدايا العمال سحت } وقد تقدم في كتاب الزكاة في باب العاملين عليها حديث بريدة عن النبي صلى الله عليه وسلم بلفظ { من استعملناه على عمل فرزقناه رزقا فما أخذه بعد ذلك فهو غلول } أخرجه أبو داود ، وقد بوب البخاري في أبواب القضاء : باب هدايا العمال ، وذكر حديث ابن اللتبية المشهور ، والظاهر أن الهدايا التي تهدى للقضاة ونحوهم هي نوع من الرشوة ; لأن المهدي إذا لم يكن معتادا للإهداء إلى القاضي قبل ولايته لا يهدي إليه إلا لغرض ، وهو إما التقوي به على باطله ، أو التوصل لهديته له إلى حقه ، والكل حرام كما تقدم وأقل الأحوال أن يكون طالبا لقربه من الحاكم وتعظيمه ونفوذ كلامه ، ولا غرض له بذلك إلا الاستطالة على خصومه أو الأمن من مطالبتهم له فيحتشمه من له حق عليه ويخافه من لا يخافه قبل ذلك ، وهذه الأغراض كلها تئول إلى ما آلت إليه الرشوة . فليحذر الحاكم المتحفظ لدينه المستعد للوقوف بين يدي ربه من قبول هدايا من أهدى إليه بعد توليه للقضاء ، فإن للإحسان تأثيرا في طبع الإنسان ، والقلوب مجبولة على حب من أحسن إليها ، فربما مالت نفسه إلى المهدي إليه ميلا يؤثر الميل عن الحق عند عروض المخاصمة بين المهدي وبين غيره والقاضي لا يشعر بذلك ويظن أنه لم يخرج عن الصواب بسبب ما قد زرعه الإحسان في قلبه ، والرشوة لا تفعل زيادة على هذا ، ومن هذه الحيثية امتنعت عن قبول الهدايا بعد دخولي في القضاء ممن كان يهدي إلي قبل الدخول فيه بل من الأقارب فضلا عن سائر الناس ، فكان في ذلك من المنافع ما لا يتسع المقام لبسطه ، أسأل الله أن يجعله خالصا لوجهه وقد ذكر المغربي في شرح ( بلوغ المرام ) في شرح حديث الرشوة [ ص: 310 ] كلاما في غاية السقوط فقال ما معناه : إنه يجوز أن يرشي من كان يتوصل بالرشوة إلى نيل حق أو دفع باطل ، وكذلك قال : يجوز للمرتشي أن يرتشي إذا كان ذلك في حق لا يلزمه فعله ، وهذا أعم مما قاله المنصور بالله ومن معه كما تقدمت الحكاية لذلك عنهم ; لأنهم خصوا الجواز بالراشي وهذا عممه في الراشي والمرتشي ، وهو تخصيص بدون مخصص ومعارضة لعموم الحديث بمحض الرأي الذي ليس عليه أثارة من علم ، ولا يغتر بمثل هذا إلا من لا يعرف كيفية الاستدلال ، والقائل رحمه اللهكان قاضيا قوله : ( والخلة ) في النهاية : الخلة بالفتح : الحاجة والفقر فيكون العطف على ما قبله من عطف العام على الخاص وفي الحديث دليل على أنه لا يحل احتجاب أولي الأمر عن أهل الحاجات . قال الشافعي وجماعة : إنه ينبغي للحاكم أن لا يتخذ حاجبا ، قال في الفتح : وذهب آخرون إلى جوازه ، وحمل الأول على زمن سكون الناس واجتماعهم على الخير وطواعيتهم للحاكم . وقال آخرون : بل يستحب الاحتجاب حينئذ لترتيب الخصوم ومنع المستطيل ودفع الشر . ونقل ابن التين عن الداودي قال : الذي أحدثه القضاة من شدة الاحتجاب وإدخال بطائق من الخصوم لم يكن من فعل السلف ا هـ قلت : صدق لم يكن من فعل السلف ، ولكن من لنا بمثل رجال السلف في أخر الزمان ، فإن الناس اشتغلوا بالخصومة لبعضهم بعضا ، فلو لم يحتجب الحاكم لدخل عليه الخصوم وقت طعامه وشرابه وخلوه بأهله وصلاته الواجبة وجميع أوقات ليله ونهاره ، وهذا مما لم يتعبد الله به أحدا من خلقه ولا جعله في وسع عبد من عباده . وقد كان المصطفى صلى الله عليه وسلم يحتجب في بعض أوقاته وقد ثبت في الصحيح من حديث أبي موسى أنه كان بوابا للنبي صلى الله عليه وسلم لما جلس على قف البئر في القصة المشهورة ، وإذا جعل لنفسه بوابا في ذلك المكان وهو منفرد عن أهله خارج عن بيته ، فبالأولى اتخاذه في مثل البيت وبين الأهل وقد ثبت أيضا في الصحيح في قصة حلفه صلى الله عليه وسلم أن لا يدخل على نسائه شهرا أن عمر استأذن له الأسود لما قال له : يا رباح استأذن لي ، فذلك دليل على أنه صلى الله عليه وسلم كان يتخذ لنفسه بوابا ، ولولا ذلك لاستأذن عمر لنفسه ولم يحتج إلى قوله : استأذن لي . وقد ورد ما يخالف هذا في الظاهر ، وهو ما ثبت في الصحيح في قصة المرأة التي وجدها تبكي عند قبر فجاءت إلى بابه فلم تجد عليه بوابا . والجمع ممكن . أما أولا فلأن النساء لا يحجبن عن الدخول في الغالب لأن الأمر الأهم من اتخاذ الحاجب هو منع دخول من يخشى الإنسان من اطلاعه على ما لا يحل الاطلاع عليه وأما ثانيا فلأن النفي للحاجب في بعض الأوقات لا يستلزم النفي مطلقا ، وغاية ذلك أنه لم يكن له صلى الله عليه وسلم حاجب راتب . قال ابن بطال : الجمع بينهما أنه صلى الله عليه وسلم إذا لم يكن في شغل من أهله ولا انفراد بشيء من أمره رفع حجابه بينه وبين الناس ويبرز لطالب الحاجة وبمثله قال الكرماني . [ ص: 311 ] وقد ثبت في قصة عمر في منازعة أمير المؤمنين علي والعباس في فدك أنه كان له حاجب يقال له يرفا . قال ابن التين متعقبا ما نقله عن الداودي في كلامه المتقدم : إن كان مراده البطائق التي فيها الإخبار بما جرى فصحيح ، يعني أنه حادث ، وإن كان مراده البطائق التي يكتب فيها للسبق ليبدأ بالنظر في خصومة من سبق فهو من العدل في الحكم ا هـ قلت : ومن العدل والتثبت في الحكم أن لا يدخل الحاكم جميع من كان ببابه من المتخاصمين إلى مجلس حكمه دفعة واحدة إذا كانوا جمعا كثيرا ، ولا سيما إذا كانوا مثل أهل هذه الديار اليمنية ، فإنهم إذا وصلوا إلى مجلس القاضي صرخوا جميعا فيتشوش فهمه ويتغير ذهنه فيقل تدبره وتثبته ، بل يجعل ببابه من يرقم الواصلين من الخصوم الأول فالأول ، ثم يدعوهم إلى مجلس حكمه كل خصمين على حدة ، فالتخصيص لعموم المنع بمثل ما ذكرناه معلوم من كليات الشريعة وجزئياتها مثل حديث نهي الحاكم عن القضاء حال الغضب والتأذي بأمر من الأمور كما سيأتي ، وكذلك أمره بالتثبت والاستماع لحجة كل واحد من الخصمين ، وكذلك أمره باجتهاد الرأي في الخصومة التي تعرض قال بعض أهل العلم : وظيفة البواب أو الحاجب أن يطالع الحاكم بحال من حضر ولا سيما من الأعيان لاحتمال أن يجيء مخاصما ، والحاكم يظن أنه جاء زائرا فيعطيه حقه من الإكرام الذي لا يجوز لمن يجيء مخاصما انتهى . ولا شك في أنه يكره دوام الاحتجاب إن لم يكن محرما لما في حديث الباب . قال في الفتح : واتفق العلماء على أنه يستحب تقديم الأسبق فالأسبق والمسافر على المقيم ولا سيما إن خشي فوات الرفقة ، وأن من اتخذ بوابا أو حاجبا أن يتخذه أمينا ثقة عفيفا عارفا حسن الأخلاق عارفا بمقادير الناس انتهى . . |
Komentar
Posting Komentar