Langsung ke konten utama

Hubungan Iman, Islam, Ihsan dan Hari Kiamat


B A B  I
KEIMANAN

  1. A. HUBUNGAN IMAN, ISLAM, IHSAN, DAN HARI KIAMAT (LM. 5)
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا أَبُو حَيَّانَ التَّيْمِيُّ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَارِزًا يَوْمًا لِلنَّاسِ فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ: مَا الإِيمَانُ قَالَ الإِيمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَبِلِقَائِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ، قَالَ: مَا الإِسْلاَمُ قَالَ: الإِسْلاَمُ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ وَلاَ تُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمَ الصَّلاَةَ وَتُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ، قَالَ: مَا الإِحْسَانُ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ، قَالَ: مَتَى السَّاعَةُ، قَالَ: مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنْ السَّائِلِ وَسَأُخْبِرُكَ عَنْ أَشْرَاطِهَا: إِذَا وَلَدَتْ الأَمَةُ رَبَّهَا وَإِذَا تَطَاوَلَ رُعَاةُ الإِبِلِ الْبُهْمُ فِي الْبُنْيَانِ، فِي خَمْسٍ لاَ يَعْلَمُهُنَّ إِلاَّ اللَّهُ ثُمَّ تَلاَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ الآيَةَ ثُمَّ أَدْبَرَ فَقَالَ رُدُّوهُ فَلَمْ يَرَوْا شَيْئًا فَقَالَ هَذَا جِبْرِيلُ جَاءَ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ (أخرجه البخارى فى : كتاب الإيمان : 37 . باب سؤال جبريل النبي ص.م. عن الإيمان والإسلام). مسلم: عن الإيمان: 57. ابو داوود: سنة, 16. ترميذى: الإيمان, 4. ابن ماجه: مقدمة. 9 . احمد بن حنبل: 1,27,51, 19,29.

1. Artinya

Musaddad telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Isma’il ibn Ibrahim telah menceritakan kepada kami, Abu Hayyan al-Taimiy dari Abi Zur’ah telah menyampaikan kepada kami dari Abu Hurairah r.a berkata: Pada suatu hari ketika Nabi saw. sedang duduk bersama sahabat, tiba-tiba datang seorang laki-laki dan bertanya, “apakah iman itu?”. Jawab Nabi saw.: “iman adalah percaya Allah swt., para malaikat-Nya, dan pertemuannya dengan Allah, para Rasul-Nya dan percaya pada hari berbangkit dari kubur. ‘Lalu laki-laki itu bertanya lagi, “apakah Islam itu? Jawab Nabi saw., “Islam ialah menyembah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun, mendirikan shalat, menunaikan zakat yang difardhukan dan berpuasa di bulan Ramadhan.” Lalu laki-laki itu bertanya lagi: “apakah Ihsan itu?” Jawab Nabi saw., “Ihsan ialah bahwa engkau menyembah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, kalau engkau tidak mampu melihat-Nya, ketahuilah bahwa Allah melihatmu. “Lalu laki-laki itu bertanya lagi: “apakah hari kiamat itu? “Nabi saw. menjawab: “orang yang ditanya tidak lebih mengetahui daripada yang bertanya, tetapi saya memberitahukan kepadamu beberapa syarat (tanda-tanda) akan tibanya hari kiamat, yaitu jika budak sahaya telah melahirkan majikannya, dan jika penggembala onta dan ternak lainnya telah berlomba-lomba membangun gedung-gedung megah. Termasuk lima perkara yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah, selanjutnya Nabi saw. membaca ayat: “Sesungguhnya Allah hanya pada sisi-Nya sajalah yang mengetahui hari kiamat… (ayat).[1] Kemudian orang itu pergi. Lalu Nabi saw. bersabda kepada para sahabat: “antarkanlah orang itu. Akan tetapi para sahabat tidak melihat sedikitpun bekas orang itu. Lalu Nabi saw.bersabda: “Itu adalah Malaikat Jibril a.s. yang datang untuk mengajarkan agama kepada manusia.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Turmudzi, Ibnu Majah dan Ahmad bin Hambal).

2. Biografi periwayat (lihat pada halaman lampiran)

3. Penjelasan Singkat

Hadis di atas mengetengahkan 4 (empat) masalah pokok yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu iman, Islam, ihsan, dan hari kiamat. Pernyataan Nabi saw. di penghujung hadis di atas bahwa “itu adalah Malaikat Jibril datang mengajarkan agama kepada manusia” mengisyaratkan bahwa keempat masalah yang disampaikan oleh malaikat Jibril dalam hadis di atas terangkum dalam istilah ad-din (baca: agama Islam). Hal ini menunjukkan bahwa keberagamaan seseorang baru dikatakan benar jika dibangun di atas pondasi Islam dengan segala kriterianya, disemangati oleh iman, segala aktifitas dijalankan atas dasar ihsan, dan orientasi akhir segala aktifitas adalah ukhrawi.

Atas dasar tersebut di atas, maka seseorang yang hanya menganut Islam sebagai agama belumlah cukup tanpa dibarengi dengan iman. Sebaliknya, iman tidaklah berarti apa-apa jika tidak didasari dengan Islam. Selanjutnya, kebermaknaan Islam dan iman akan mencapai kesempurnaan jika dibarengi dengan ihsan, sebab ihsan mengandung konsep keikhlasan tanpa pamrih dalam ibadah.  Keterkaitan antara ketiga konsep di atas (Islam, iman, dan ihsan) dengan hari kiamat karena karena hari kiamat (baca: akhirat) merupakan terminal tujuan dari segala perjalanan manusia tempat menerima ganjaran dari segala aktifitas manusia yang kepastaian kedatangannya menjadi rahasia Allah swt.
Berikut ini akan dibahas lebih rinci tentang iman, Islam, ihsan, dan hari kiamat.

a. Iman

Pengertian dasar dari istilah “iman” ialah “memberi ketenangan hati;  pembenaran hati”.[2] Jadi makna iman secara umum mengandung pengertian pembenaran hati yang dapat menggerakkan anggota badan memenuhi segala konsekuensi dari apa yang dibenarkan oleh hati.[3]

Iman sering juga dikenal dengan istilah aqidah, yang berarti ikatan, yaitu ikatan hati. Bahwa seseorang yang beriman mengikatkan hati dan perasaannya dengan sesuatu kepercayaan yang tidak lagi ditukarnya dengan kepercayaan lain. Aqidah tersebut akan menjadi pegangan dan pedoman hidup, mendarah daging dalam diri yang tidak dapat dipisahkan lagi dari diri seorang mukmin. Bahkan seorang mukmin sanggup berkorban segalanya, harta dan bahkan jiwa demi mempertahankan aqidahnya.

Adapun pengertian iman secara khusus sebagaimana yang tertera dalam hadis di atas ialah: keyakinan tentang adanya Allah swt., malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab yang diturunkan-Nya, Rasul-rasul utusan-Nya, dan yakin tentang kebenaran adanya hari kebangkitan dari alam kubur.
Dalam hadis lain, yang senada dengan hadis di atas yang diriwayatkan oleh Kahmas dan Sulaiman al-Tamimi, selain menyebutkan kelima hal di atas sebagai kriteria iman, terdapat tambahan satu kriteria yaitu: beriman kepada qadha dan qadar Allah, yang baik maupun yang buruk.[4]

Berdasarkan kedua redaksi hadis tersebut selanjutnya oleh sebagian besar ulama dirumuskan bahwa jumlah rukun iman adalah enam, yang meliputi:

1) Keyakinan tentang adanya Allah swt.
2) Keyakinan terhadap malaikat-malaikat Allah swt.
3) Keyakinan tentang kebenaran kitab-kitab yang diturunkan-Nya.
4) Keyakinan tentang kebenaran rasul-rasul utusan-Nya.
5) Keyakinan tentang kebenaran adanya hari kebangkitan dari alam kubur.
6) Keyakinan kepada qadha dan qadar Allah, yang baik maupun yang buruk.
Dalam Alqur’an ditemukan sejumlah ayat yang senada dengan  hadis di atas yang mendeskripsikan tentang konsep keimanan, antara lain firman Allah swt. dalam QS. Al-Baqarah (2): 285:

Terjemahnya:
Rasul Telah beriman kepada al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman, semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (mereka berdoa): “Ampunilah kami Ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.”
Dengan demikian, keimanan dalam pengertian al-Qur’an adalah pembenaran tentang keesaan Allah, kebenaran para rasul-Nya, kebenaran akan datangnya hari kemudian, serta kebenaran segala yang disampaikan oleh para rasul-Nya disertai dengan ketaatan penuh tanpa ada tawar menawar terhadap apa yang diyakini kebenarannya.

Adapun keimanan kepada qadha dan qadar secara tekstual tidak tercatat dalam ayat di atas, tapi tersebar dalam berbagai ayat dalam surah yang berbeda, dan bahkan dengan arti yang bermacam-macam. Tetapi adapula yang menafsirkan  perkataan “wa ilaika al-mashir” dalam ayat di atas menunjukkan pula arti mengembalikan segala perkara kepada Allah, termasuk masalah takdir.

Keenam pokok keimanan itu yakni: iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhirat dan qadla-gadar-Nya – dikenal sebagai arkanul iman (rukun iman) yang menapakan pokok-pokok keimanan. Karna keenam hal tersebut sebagaimana dijelaskan di atas mempunyai korelasi yang demikian besar, maka bila menafikan salah satu unsur dari keenam itu akan menyebabkan kepincangan dalam iman, dan bahkan pula akan menyebabkan keingkaran kepada Tuhan. Keingkaran kepada hari kiamat umpamanya berarti pula keingkaran kepada Allah – yang sekaligus ingkar kepada rasul yang menyampaikan berita tersebut, termasuk kepada malaikat yang menyampaikan wahyu kepada para rasul, dan peccaya kepada kitab-kitab yang merupakan risalah para rasul itu.

Ketaatan dalam hubungannya dengan keyakinan mengandung pengertian melaksanakan segala konsekuensi yang lahir dari keyakinan tersebut dalam bentuk nyata (amal shaleh). Oleh sebab itu, konsep keimanan dalam aThaba’thaba’i menjelaskan bahwa setiap al-Qur’an menyebutkan kaum mukminin dengan sifat yang indah,  al-Qur’an dalam banyak ayat selalu dihubungkan dengan karya nyata (amal shaleh). Sebagai contoh, Allah berfirman dalam QS. An-Nahl (16): 97:

Terjemahnya:

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S. al-Nahl: 97)

Keimanan dipandang sempurna apabila ada pengakuan dengan lidah, pembenaran dengan hati secara yakin dan tidak bercampur keraguan, dan dilaksanakan dalam bentuk perbuatan sehari-hari, serta keimanan tersebut berpengaruh terhadap pandangan hidup dan cita-cita seseorang.

Meskipun keimanan merupakan perbuatan hati, tetapi pantulan dari keimanan tersebut melahirkan perbuatan-perbuatan nyata yang menjadi tuntutan keimanan tersebut. Oleh sebab itu, al-Quran menjelaskan kewajiban-kewajiban, sikap-sikap, dan tingkah laku seorang yang harus terwujud dalam diri setiap orang beriman dalam kehidupannya. Konsep seperti itu misalnya ditemukan dalam firman Allah dalam QS. al-Mu’minun (23): 1-6 sebagai berikut:

Terjemahnya:

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
Dalam QS. al-Anfal (8): 2-3 Allah berfirman:

Terjemahnya:

Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan Hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.

Dengan demikian, iman saja tidaklah cukup, tetapi harus disertai berbagai amal saleh sebagai perwujudan dari keyakinan tersebut. Sekedar kepercayaan menyangkut sesuatu, belum dapat dinamai iman, karena iman menghasilkan ketenangan. Karena itu pula iman berbeda dengan ilmu, karena ilmu tidak jarang menghasilkan keresahan dalam hati pemiliknya, berbeda dengan iman. Meskipun ilmu diibaratkan dengan air telaga, tetapi tidak jarang ia keruh. Tetapi iman ketika diibaratkan dengan air bah dengan gemuruhnya, tetapi ia selalu jernih sehingga menghasilkan ketenangan.

Disamping itu, iman dapat diibaratkan sebagai makanan rohani. Jiwa yang kosong dari iman akan lemah dan hampa sebagaimana jasad yang tidak diberi makan. Dengan demikian, iman merupakan inti kehidupan batin dan sekaligus menjadi penyelamat dari siksa abadi di akhirat kelak.

b. Islam

Islam berasal dari akar kata kerja aslama secara harfiyah berarti kepatuhan atau tindakan penyerahan diri seseorang sepenuhnya kepada kehendak orang lain.[5] Islam adalah kepatuhan menjalankan perintah Allah dengan segala keikhlasan dan kesungguhan hati. Hal itu sesuai dengan arti kata Islam, yakni penyerahan. Seorang muslim harus menyerahkan dirinya kepada Allah secara total karena memang manusia diciptakan Allah untuk mengabdi kepada-Nya.

Islam menurut istilah adalah agama yang dibawa oleh para utusan Allah dan disempurnakan oleh Rasulullah saw. yang memiliki sumber pokok al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. sebagai petunjuk kepada umat manusia sepanjang masa. (Q.S. 48: 28, dan 5: 3).

Intisari Islam sebagai agama adalah keterikatan dan ketundukan pada Allah swt. yang mempunyai kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi dari manusia  dan bersifat gaib yang dapat ditangkap oleh indera tetapi bisa dirasakan dan diyakini akan adanya. Tauhid (pengesaan Allah) merupakan seruan pertama dan terakhir dari Islam. Ia adalah suatu kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa (faith in the unity of God). Suatu kepercayaan yang menegaskan bahwa hanya Allah-lah yang mencipta, memberi hukum, mengatur alam semesta ini. Sebagai konsekuensinya maka hanya Allah pulalah yang satu-satunya yang wajib disembah.
Atas dasar itulah sehingga Rasulullah saw. dalam hadis di atas menjadikan tauhid (penyembahan hanya kepada Allah semata) sebagai pilar utama dalam keislaman seorang, selanjutnya disusul dengan kewajiban-kewajiban yang lain, yaitu mendirikan shalat, menunaikan zakat yang difardhukan, berpuasa di bulan Ramadhan. Dalam hadis lain ditambahkan satu kewajiban lagi, yakni menunaikan ibadah haji bagi yang mampu, sebagaimana dinyatakan dalam hadis berikut:

حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى قَالَ أَخْبَرَنَا حَنْظَلَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ عَنْ عِكْرِمَةَ بْنِ خَالِدٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ.(رواه البخاري).

Artinya:

‘Abdullah ibn Musa telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Hanzhalah ibn Abi Sufyan telah memberitakan kepada kami, dari Ikrimah ibn Khalid, dari ibn Umar r.a berkata: Rasulullah saw. telah bersabda: “Islam didirikan atas lima perkara, yakni bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah swt, dan Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan ibadah haji (ke Baitullah), dan berpuasa dibulan Ramadhan”. (H.R. Al-Bukhari)

Berdasarkan hadis di atas, ditemukan rumusan yang selanjutnya dikenal dengan rukun Islam, yaitu:

1) Syahadat (persaksaan keesaan Allah dan kerasulan Muhammad)
2) Mendirikan salat
3) Menunaikan zakat
4) Puasa pada bulan Ramadhan
5) Menunaikan ibadah haji

Sebagai agama, hanya Islam-lah yang mendapat pengakuan dan diterima di sisi Allah swt. Sehubungan dengan hal ini Allah berfirman dalam QS. Ali Imran (3): 19:

Terjemahnya:

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam”.

Dan Allah berfirman dalam QS. Ali Imran (3): 85:

Terjemahnya:

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (Q.S. Ali Imran: 85)

Pernyataan al-Qur’an di atas mengisyaratkan bahwa diutusnya Nabi Muhammad saw. bukan untuk merombak seluruh ajaran yang dibawa oleh para nabi yang datang sebelumnya. Kedatangan beliau hanya melanjutkan missi yang dibawa oleh Nabi-nabi sebelumnya dan menyempurnakannya. Oleh sebab itu, inti ajaran, isi dan tujuan agama-agama samawi sebelum Nabi Muhammad bersifat tidak berubah-ubah, namun teknis dan pelaksanaannya dapat berubah dengan memperhatikan situasi dan kondisi yang berkembang. Sehubungan dengan hal ini Allah berfirman dalam QS. asy-Syura (42): 13:

Terjemahnya:

Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).

Berdasarkan ayat di atas, syariat Islam pada prinsipnya merupakan ajaran yang dibawa oleh seluruh Rasul Allah, dan Rasulullah saw. diutuslah meletakkan batu terakhir kesempurnaannya, yang diproklamirkan pada tanggal 9 Zulhijjah, saat Nabi saw.  melaksanakan haji wada’ tiga bulan sebelum wafat dengan turunnya firman Allah dalam QS. al-Maidah (5): 3: 

Terjemahannya :

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Seseorang yang menyandang predikat muslim, harus patuh kepada peraturan-peraturan yang ditetapkan Allah, hidupnya serasi dengan alam dengan seluruh mahluk, bahkan hidup serasi dengan diri sendiri (dengan fitrah kesucian).

Islam sebagai agama mengatur tata cara mengabdi kepada Allah swt. menurut cara yang diridhai-Nya. Ibadah dalam Islam antara lain bertujuan untuk merekatkan dan mendekatkan hubungan antara makhluk dengan al-Khalik, supaya manusia senantiasa mendapat karunia dan ridha-Nya.

Dalam hubungan dengan sesama manusia, Islam pun mengatur sikap hidup dan tingkah laku yang baik, dalam lingkungan yang kecil maupun dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas. Dalam Islam, telah diatur pula hubungan dengan anggota masyarakat yang berbeda agama, bahkan yang tidak beragama sekalipun. Semuanya bertujuan agar tercipta hubungan yang baik dan harmonis antar sesama manusia.

Islam juga mengatur hubungan manusia dengan alam dan hewan. Manusia haruslah memperlakukan hewan secara wajar. Begitu pula dalam pengeksploitasi alam ia harus mengaturnya sedemikian rupa sehingga tidak merusak lingkungan dan tercipta lingkungan yang asri dan memberikan kebahagiaan serta kesejahteraan bagi manusia.

Secara singkat, dapat dijelaskan bahwa Islam mengatur segala aspek kehidupan, baik yang berkenaan dengan aqidah (kepercayaan), syariah (ibadah dan muamalah), akhlak (baik kepada al-Khalik maupun kepada makhluk).

Secara garis besarnya kerangka dasar Ajaran Islam dapat dilihat pada bagan berikut:

c. Ihsan

Ihsan secara bahasa berasal dari akar kata kerja ahsana-yuhsinu, yang artinya adalah berbuat baik, sedangkan bentuk mashdarnya adalah ihsan yang artinya kebaikan. Mengenai hal ini, Allah swt. berfirman dalam QS. an-Nahl (16): 90:

Terjemahnya:

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan ..........”

Ihsan adalah puncak ibadah dan akhlak yang senantiasa menjadi target seluruh hamba Allah swt. Sebab, ihsan menjadikan kita sosok yang mendapatkan kemuliaan dari-Nya. Sebaliknya, seorang hamba yang tidak mampu mencapai target ini akan kehilangan kesempatan yang sangat mahal untuk menduduki posisi terhormat dimata Allah swt. Rasulullah saw. pun sangat menaruh perhatian akan hal ini, sehingga seluruh ajaran-ajarannya mengarah kepada satu hal, yaitu mencapai ibadah yang sempurna dan akhlak yang mulia.
Oleh karenanya, seorang muslim hendaknya tidak memandang ihsan itu hanya sebatas akhlak yang utama saja, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari aqidah dan bagian terbesar dari keislamannya. Karena, Islam dibangun di atas tiga landasan utama, yaitu iman, Islam, dan ihsan, seperti yang telah diterangkan oleh Rasulullah saw. yang disebutkan di atas. Rasulullah saw. menyebut ketiga hal di atas sebagai agama, dan bahkan Allah swt. memerintahkan untuk berbuat ihsan pada banyak tempat dalam al-Qur`an.

Adapun pengertian ihsan secara khusus yang disebutkan dalam hadis di atas, yaitu "menyembah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak mampu melihatnya, ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat.í"

Pernyataan menyembah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya", mengandung arti bahwa dalam menyembah kepada-Nya, kita harus bersungguh-sungguh, serius dan penuh keikhlasan serta melebihi sikap seorang rakyat jelata ketika menghadap Raja. Dalam hati harus ditumbuhkan keyakinan bahwa Allah seakan-akan berada di hadapannya, dan Dia melihat dirinya. Sedangkan pernyataan "jika engkau tidak mampu melihat-Nya, ketahuilah bahwa Allah melihatmu," maksudnya kita harus merasa bahwa Allah selamanya hadir dan menyaksikan segala perbuatannya.

Menurut Ibnu Hajar, ihsan berarti berusaha menjaga tata krama dan sopan santun dalam beramal, seakan-akan kamu melihat-Nya seperti Dia melihat kamu. Hal itu harus dilakukan bukan karena kamu melihat-Nya, tetapi karena Dia selamanya melihat kamu. Maka beribadahlah dengan baik meskipun kamu tidak dapat melihat-Nya.[6]

Ihsan merupakan salah satu faktor utama dalam menentukan diterima atau tidaknya suatu amal oleh Allah swt. karena orang yang berlaku ihsan dapat dipastikanj akan ikhlas dalam beramal, sedangkan ikhlas merupakan inti diterimanya suatu amal ibadah.

Ihsan meliputi tiga aspek fundamental, yaitu ibadah, muamalah, dan akhlak.

1) Ibadah

Kita berkewajiban ihsan dalam beribadah, yaitu dengan menunaikan semua jenis ibadah, seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya dengan cara yang benar, yaitu menyempurnakan syarat, rukun, sunnah, dan adab-adabnya. Hal ini tidak akan mungkin dapat ditunaikan oleh seorang hamba, kecuali jika saat pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut ia dipenuhi dengan cita rasa yang sangat kuat (menikmatinya), juga dengan kesadaran penuh bahwa Allah senantiasa memantaunya hingga ia merasa bahwa ia sedang dilihat dan diperhatikan oleh-Nya. Minimal seorang hamba merasakan bahwa Allah senantiasa memantaunya, karena dengan ini lah ia dapat menunaikan ibadah-ibadah tersebut dengan baik dan sempurna, sehingga hasil dari ibadah tersebut akan seperti yang diharapkan. Inilah maksud dari perkataan Rasulullah saw yang berbunyi, “Hendaklah kamu menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”

Kini jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya arti dari ibadah itu sendiri sangatlah luas. Maka, selain jenis ibadah yang kita sebutkan tadi, yang tidak kalah pentingnya adalah juga jenis ibadah lainnya seperti jihad, hormat terhadap mukmin, mendidik anak, menyenangkan isteri, meniatkan setiap yang mubah untuk mendapat ridha Allah, dan masih banyak lagi. Oleh karena itulah, Rasulullah saw. menghendaki umatnya senantiasa dalam keadaan seperti itu, yaitu senantiasa sadar jika ia ingin mewujudkan ihsan dalam ibadahnya.

2) Muamalah

Ihsan sebagaimana dijelaskan sebelumnya adalah beribadah kepada Allah  dengan sikap seakan-akan melihat-Nya, dan jika tidak dapat melihat-Nya, maka Allah melihat kita. Sedangkan ihsan dari segi muamalah, yang termasuk di dalamnya adalah:

Pertama, Ihsan kepada kedua orang tua

Allah swt. menjelaskan hal ini dalam QS. al-Isra (): 23-24:

Terjemahnya:

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.

Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa ihsan kepada ibu-bapak adalah sejajar dengan ibadah kepada Allah. Dalam sebuah hadist riwayat Turmuzdi, dari Ibnu Amru bin Ash, Rasulullah saw. bersabda:[7]

عِنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرو بْنِ العَاصِ رضيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: رِضَى اللهُ  فِي رِضَى اْلوَالِدَيْنِ وَسُخْطُ اللهِ فِي سُخْطِ اْلوَالِدَيْنِ

Artinya:

Dari Abdullah bin Amru bin al-‘Ash r.a dari Nabi saw. bersabda: Keridhaan Allah berada pada keridhaan orang tua, dan kemurkaan Allah berada pada kemurkaan orang tua.” (H.R. at-Turmudzi)

Dalil di atas menjelaskan bahwa ibadah kita kepada Allah tidak akan diterima jika tidak disertai dengan berbuat baik kepada kedua orang tua. Apabila kita tidak memiliki kebaikan ini, maka bersamaan dengannya akan hilang ketakwaan, keimanan, dan keislaman.

Kedua, Ihsan kepada kerabat karib

Ihsan kepada kerabat adalah dengan jalan membangun hubungan yang baik dengan mereka, bahkan Allah swt. menyamakan seseorang yang memutuskan hubungan silatuhrahmi dengan perusak dimuka bumi. Allah berfirman dalam QS. Muhammad (47): 22:

Terjemahnya:

Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan dimuka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan.?

Silaturahmi adalah kunci untuk mendapatkan keridhaan Allah. Hal ini dikarenakan sebab paling utama terputusnya hubungan seorang hamba dengan Tuhannya adalah karena terputusnya hubungan silaturahmi.

Ketiga, Ihsan kepada anak yatim dan fakir miskin

Diriwayatkan oleh Bukhari, Turmudzi, dan Ibnu Hibban bahwa Rasulullah saw bersabda:

حدثنا عمرو بن بينها أخبرنا عبد العزيز بن أبي حازم عن أبيه عن سَهْل قال رسولُ الله  صلى الله عليه وسلم: أَنَا وَكَافِلُ  اليَتِيْمِ فِي اْلجَنَّةِ  هَكَذَا وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَاْلوُسْطَى وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا شَيْئًا[8]

Artinya:

Dari Sahl, Rasulullah saw. bersabda: aku dan orang yang memelihara anak yatim di surga kelak akan seperti ini…(seraya menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya dan merenggangkan keduanya).”
Keempat, Ihsan kepada tetangga dekat,  tetangga jauh, serta teman sejawat.

Ihsan kepada tetangga dekat meliputi tetangga dekat dari kerabat atau tetangga yang berada di dekat rumah, serta  tetangga jauh, baik jauh karena nasab maupun yang berada jauh dari rumah.
Adapun yang dimaksud teman sejawat adalah yang berkumpul dengan kita atas dasar pekerjaan, pertemanan, teman sekolah atau kampus, perjalanan, ma’had,  dan sebagainya. Mereka semua masuk ke dalam katagori tetangga. Seorang tetangga kafir mempunyai hak sebagai tetangga saja, tetapi tetangga muslim mempunyai dua hak, yaitu sebagai tetangga dan sebagai muslim, sedang tetangga muslim dan kerabat mempunyai tiga hak, yaitu sebagai tetangga, sebagai muslim dan sebagai kerabat. Rasulullah saw. menjelaskan hal ini dalam sabdanya: [9]

حدثنا عاصم بن علي حدثنا بن أبي ذئب عن سعيد عَنْ أَبِي شُرَيْح أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلمَ  قال: وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ واللهِ لاَ يُؤْمِنُ وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ قِيْلَ وَمَنْ يَا رسولَ اللهِ قالَ الذي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ (رواه البخاري ومسلم)

Artinya:

Dari Abu Syuraih bahwa Nabi saw. bersabda: demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman. Para sahabat bertanya, “siapakah yang tidak beriman, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “seseorang yang tidak aman tetangganya dari gangguannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kelima, Ihsan kepada ibnu sabil dan pelayan

Rasulullah saw. bersabda mengenai hal ini:[10]

حدثنا عبد الله بن محمد حدثنا بن مهدي حدثنا سفيان عن أبي حصين عن أبي صالح عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم  قالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ باللهِ وَاْليَوْمِ الآخرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ باللهِ واليَوْمِ الآخرِ فَلْيُكْرْمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ باللهِ واليومِ الآخرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت

Artinya:

Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw. bersabda: Barangsiapa beriman kepada dan hari akhiratnya maka janganlah menyakiti tetangganya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah memuliakan tamunya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah berkata benar atau diam.” (HR. Jama’ah, kecuali Nasa’i)

Selain itu, ihsan terhadap ibnu sabil adalah dengan cara memenuhi kebutuhannya, menjaga hartanya, memelihara kehormatannya, menunjukinya jalan jika ia meminta, dan memberinya pelayanan.
Adapun muamalah terhadap pembantu atau karyawan dilakukan dengan membayar gajinya sebelum keringatnya kering, tidak membebaninya dengan sesuatu yang ia tidak sanggup melakukannya, menjaga kehormatannya, dan menghargai pridainya. Jika ia pembantu rumah tangga, maka hendaklah ia diberi makan dari apa yang kita makan, dan diberi pakaian dari apa yang kita pakai.

Keenam, Ihsan dengan perlakuan dan ucapan yang baik kepada manusia.

Rasulullah saw. bersabda, sebagaimana disebutkan di atas bahwa: ”Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
Bagi manusia secara umum, hendaklah kita melembutkan ucapan, saling menghargai dalam pergaulan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegahnya dari kemungkaran, menunjukinya jalan jika ia tersesat, mengajari mereka yang bodoh, mengakui hak-hak mereka, dan tidak mengganggu mereka dengan tidak melakukan hal-hal dapat mengusik serta melukai mereka.

Ketujuh, Ihsan dengan berlaku baik kepada binatang
Berbuat ihsan terhadap binatang adalah dengan memberinya makan jika  ia lapar, mengobatinya jika ia sakit, tidak membebaninya diluar kemampuannya, tidak menyiksanya jika ia bekerja, dan mengistirahatkannya jika ia lelah. Bahkan, pada saat menyembelih, hendaklah dengan menyembelihnya dengan cara yang baik, tidak menyiksanya, serta menggunakan pisau yang tajam.

3) Akhlak.

Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan muamalah. Seseorang akan mencapai tingkat ihsan dalam akhlaknya apabila ia telah melakukan ibadah seperti yang menjadi harapan Rasulullah dalam hadits yang telah dikemukakan di awal tulisan ini, yaitu “menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah senantiasa melihat kita”. Jika hal ini telah dicapai oleh seorang hamba, maka sesungguhnya itulah puncak ihsan dalam ibadah. 

Pada akhirnya, ia akan berbuah menjadi akhlak atau perilaku, sehingga mereka yang sampai pada tahap ihsan dalam ibadahnya akan terlihat jelas dalam perilaku dan karakternya.
Jika kita ingin melihat nilai ihsan pada diri seseorang—yang diperoleh dari hasil maksimal ibadahnya, maka kita akan menemukannya dalam muamalah kehidupannya. Bagaimana ia bermuamalah dengan sesama manusia, lingkungannya,  pekerjaannya, keluarganya, dan bahkan terhadap dirinya sendiri.

d. Hari Kiamat

Percaya akan datangnya hari kiamat termasuk salah satu rukun iman yang harus diyakini oleh semua orang yang beriman meskipun tidak ada yang tahu kapan saatnya tiba. Bagi mereka yang beriman, misteri terjadinya hari kiamat tidak akan mengurangi kadar keimanannya. Mereka justru lebih waspada dan senantiasa meningkatkan amal kebaikan untuk bekal menghadapi-Nya.

Namun demikian, Rasulullah saw. memberikan dua tanda terjadinya kiamat, yakni jika hamba sahaya telah melahirkan majikannya, dan jika penggembala onta dan ternak lainnya berlomba-lomba membangun gedung-gedung yang megah dan tinggi.

Menurut sebagian ahli hadis, tanda-tanda kiamat itu lebih dari dua sebagaimana terdapat dalam hadis lain. Dengan kata lain, kedua tanda kiamat tersebut merupakan tanda jangka panjang. Adapun tanda-tanda seperti terbitnya matahari dari arah barat merupakan tanda jangka pendek.

Akan tetapi, hanya Allah saja yang tahu mengenai datangnya hari kiamat, sebagaimana tidak ada yang tahu, kecuali Allah saja tentang turunnya hujan; apa yang ada dalam rahim seorang ibu; apa yang akan terjadi esok hari; dan di manakah seseorang akan mati, sebagaimana dinyatakan dalam QS. Luqman (31): 34:

Terjemahnya:

Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

4. Fiqh al-Hadis
  1. Iman ialah percaya kepada Allah swt, para malaikat-Nya, pertemuan dengan Allah, para Rasul-Nya, percaya kepada hari berbangkit dari kubur, dan percaya kepada qadha dan qadar. Islam ialah menyembah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun, mendirikan shalat, menunaikan zakat yang difardhukan, berhaji, dan berpuasa di bulan Ramadhan; dan Ihsan ialah menyembah kepada Allah seakan-akan kita melihat-Nya, kalau tidak mampu melihat-Nya, harus diyakini bahwa Allah melihat kita.
  2. Ketiga hal di atas, ditambah mempercayai terjadinya hari kiamat, yang tidak seorangpun mengetahuinya kecuali Allah swt. merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam membentuk jiwa untuk mengabdi kepada Allah sehingga mendapat keridhaan-Nya.

2.      BERKURANGNYA IMAN DAN DAN ISLAM KARENA      MAKSIAT (LM.36)

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ قَالَ أَخْبَرَنِي يُونُس عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَلَمَةَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَابْنَ الْمُسَيَّبِ يَقُولاَنِ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلاَ يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلاَ يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وزاد فى رواية: وَلاَ يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ النَّاسُ إِلَيْهِ أَبْصَارَهُمْ فِيهَا حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلاَ يَنْتَهِبُ نُهْبَةً يَرْفَعُ النَّاسُ إِلَيْهِ فِيهَا أَبْصَارَهُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ  (أخرجه البخاري فى (74): كتاب الأشربة (1)، باب قول الله تعالى: إنماالخمروالميسروالأ نصاب والأزلام رجس من عمل الشيطان…..)

Artinya

Ahmad ibn Shalih telah menceritakan kepada kami, Ibn Wahbi telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Yunus telah menceritakan kepadaku dari Abi Syihab, ia berkata bahwa aku telah mendengar Abu Salamah ibn ‘Abd al-Rahman dan ibn al-Musayyab berkata bahwa Abu Hurairah r.a berkata bahwa Nabi saw.telah bersabda, “tidak akan berzina seseorang jika ia sedang beriman, dan tidak akan meminum khamar seseorang jika ia sedang beriman, dan tidak akan mencuri sesseorang jika ia sedang beriman”. Pada riwayat lain ditambahkan, “Dan tidak akan merampas rampasan yang berharga sehingga orang-orang membelalakkan mata kepadanya ketika merampas jika ia sedang beriman”.

2. Biografi Perawi (lihat halaman lampiran).

3. Penjelasan Singkat

Orang yang beriman akan merasa bahwa segala tingkah lakunya senantiasa diawasi oleh Allah swt. Tidak ada suatu perbuatan yang ia lakukan luput dari pengawasan Allah swt. Di samping itu, ia selalu sadar bahwa segala perbuatan yang dilakukannya harus dipertanggung jawabkan dihadapan-Nya, dan ia sendiri yang akan menerima akibat dari perbuatannya, baik ataupun buruk, sekecil apapun perbuatan itu. Hal ini disinyalir Allah dalam QS. az-Zalzalah (99): 7-8:

Terjemahnya:

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah-pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.

Atas dasar kesadaran tersebut, maka orang yang benar-benar beriman senantiasa berusaha mengerjakan perbuatan yang baik dan menghindari perbuatan yang dilarang oleh Allah swt. Seorang yang beriman tidak mungkin dengan sengaja melakukan maksiat kepada Allah, karena ia merasa malu dan takut menghadapi azab-Nya serta takut tidak mendapatkan ridha-Nya.

Sebaliknya, orang yang tidak beriman kepada Allah swt. akan merasa bahwa hidupnya di dunia tidak memiliki beban apa-apa. Ia hidup semaunya, dan yang penting baginya adalah ia merasa senang dan bahagia. Ia tidak memikirkan kehidupan setelah mati kelak karena ia tidak mempercayainya. Dengan demikian, perbuatannya pun tidak terlalu dipusingkan oleh masalah baik ataupun buruk. Kalaupun ia melakukan suatu perbuatan baik, maka perbuatannya tersebut bukan karena mengharapkan ridha Allah swt. karena ia tidak percaya kepada-Nya.

Adapun bagi mereka yang menyatakan dirinya beriman, tetapi sering melakukan perbuatan dosa/maksiat, mereka merasa dan mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah perbuatan dosa, tetapi mereka tidak berusaha untuk mencegah dirinya dari perbuatan tersebut. Hal itu antara lain karena kuatnya godaan setan dan besarnya dorongan hawa nafsu untuk melakukan perbuatan maksiat. Dalam keadaan seperti ini, ia tetap beriman, hanya saja keimanannya lemah (berkurang). Semakin sering melakukan perbuatan dosa, semakin lemah pula imannya.

Keimanan seseorang adakalanya bertambah dan adakalanya berkurang (الإِيْمَانُ يَزْدَادُ وُيَنْقُصُ). Oleh sebab itu, seyogyanya setiap orang beriman berusaha untuk senantiasa memperbaharui keimanan dan ke-Islamannya. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan selalu mengingat Allah dan mengerjakan perbuatan baik yang dan diridhai-Nya. Dengan demikian, keimanannya relatif akan stabil.

Selain itu, ia pun harus selalu ingat bahwa sekecil apapun perbuatan maksiat itu, maka ia akan mendapatkan balasan-Nya. Meskipun di dunia dapat selamat dari akibat kemaksiatan yang dilakukannya, tapi ia tidak dapat mengelak dari balasan di akhirat kelak. Allah berfirman dalam QS. an-Nisa’ (4): 14:

Terjemahnya:

Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.

Namun demikian, jika seorang hamba mau bertobat, selain ia kan mendapat ampunan Allah, juga dipastikan imannya akan kembali utuh. Allah berfirman dalam QS. al-A’raf (7): 153:

Artinya:

Orang-orang yang mengerjakan kejahatan, Kemudian bertaubat sesudah itu dan beriman; Sesungguhnya Tuhan kamu sesudah Taubat yang disertai dengan iman itu adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Tobat yang akan mendapat ampunan Allah swt. tentu saja tobat yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, yang dalam istilah al-Qur’an disebut tobat nasuha. (Q.S. 66: 8).

4. Fiqh al-Hadis

Hadis di atas mengisyaratkan bahwa keimanan seseorang akan terpantul dalam bentuk amal shaleh. Oleh sebab itu, meningkat atau menurunnya amal shaleh yang diperbuat merupakan indikator menurun dan berkurangnya iman.

Orang yang betul-betul beriman tidak mungkin secara sengaja mengerjakan maksiat. Dengan demikian, seorang mukmin yang melakukan perbuatan dosa seperti zina, mencuri, membunuh dan kemaksiatan-kemaksiatan lainnya, berarti dia sedang tidak beriman atau imannya berada dalam titik terendah. Oleh karena itu, seyogianya setiap orang yang beriman selalu memperbaharui keimanannya dengan selalu mengingat Allah dan melakukan berbagai perintah-Nya.

3.   RASA MALU SEBAGIAN DARI IMAN (LM.22)

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنْ الأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِي الْحَيَاءِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنْ الإِيمَانِ. (أخرجه البخاري فى : ۲- كتاب الإيمان :۱٦ باب الحيا ء من الإيمان).

Artinya

‘Abdullah ibn Yusuf telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Malik ibn Anas telah mengabarkan kepada kami dari ibn Syihab dari Salim ibn ‘Abdillah dari ayahnya bahwa Nabi SAW melewati (melihat) seorang lelaki kaum Anshar yang sedang menasehati saudaranya karena malu, maka Nabi SAW telah bersabda: “Biarkanlah ia karena sesungguhnya malu itu sebagian dari iman”. 

2. Biografi periwayat (lihat halaman lampiran)

3.  Penjelasan Singkat

Tujuan utama dari Risalah Islamiyah adalah untuk membentuk Insan Kamil, yaitu manusia yang seluruh aspek hidup dan kehidupannya telah dijiwai oleh iman, Islam dan ihsan. Missi yang diemban Rasulullah berorientasi pada prinsipnya merujuk kepada tujuan global, yaitu untuk menyempurnakan akhlak yang mulia dalam pengertian yang sangat luas.

Rasa malu merupakan salah satu sifat yang dianugerahkan Allah kepada manusia dan sekaligus merupakan salah satu sifat yang membedakan manusia dengan binatang. Kadar rasa malu pada tiap-tiap orang berbeda-beda, dan motif yang menyebabkan orang malu juga sangat variatif. Dengan demikian, malu kadang yang dapat dikategorikan sebagai sifat yang baik, dan adapula kalanya dapat dikategorikan sebagai sifat tercela. Oleh sebab itu, sifat ini harus ditempatkan secara proporsional.

Malu bukan hanya merupakan sifat dasar manusia, kan tetapi lebih dari itu termasuk dalam salah satu ciri orang yang beriman dan simbol keberimanan seseorang. Oleh sebab itulah sehingga Rasulullah dalam hadis di atas menjadikan rasa malu sebagai bagian dari iman.

Namun demikian, malu yang dimaksud dalam hadis di atas bukan dalam arti bahasa, tetapi arti malu di sini adalah malu dalam mengerjakan hal-hal yang jelek dan bertentangan dengan syariat maupun norma-norma etika Islam. Hal itu dipertegas oleh hadis lain:

حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي السَّوَّارِ الْعَدَوِيِّ قَالَ سَمِعْتُ عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِي إِلاَّ بِخَيْرٍ فَقَالَ بُشَيْرُ بْنُ كَعْبٍ مَكْتُوبٌ فِي الْحِكْمَةِ إِنَّ مِنْ الْحَيَاءِ وَقَارًا وَإِنَّ مِنْ الْحَيَاءِ سَكِينَةً فَقَالَ لَهُ عِمْرَانُ أُحَدِّثُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتُحَدِّثُنِي عَنْ صَحِيفَتِكَ. (متفق عليه).

Artinya :

Adam telah menceritakan kepada kami, Syu’bah telah menceritakan kepada kami, dari Qatadah dari Abi al-Sawwar al-‘Adawiy ia berkata bahwa ia telah mendengar Imran bin Husain r.a berkata bahwa Rasulullah SAW telah telah bersabda: “Malu itu tidak aka menimbulkan sesuatu kecuali kebaikan semata.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Sehubungan dengan makna malu sebagaimana yang disebutkan di atas, ulama merumuskan definisi malu sebagai berikut:

حَقِيْقَة ُاْ لحَيَاءِ خُلُقٌ يَبْعَث ُعَلَى تَرْ كِ اْلقَبِيْحِ وَيَمْنَعُ مِنَ التَّقْصِيْرِفِى حَقِّ ذِى اْلحَقِّ

Artinya:

“Hakikat malu adalah sifat atau perasaan yang mendorong untuk meninggalkan perbuatan jelek dan menghalangi mengurangi hak orang lain”

Menurut Abu al-Qasim (Junaid), perasaan malu akan timbul bila memandang budi kebaikan dan melihat kekurangan diri. Hampir senada dengan itu, al-Hulaimy berpendapat bahwa hakikat malu adalah rasa takut untuk melaksanakan kejelekan. Di antara ulama, ada pula yang berpendapat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Fathu al-Bary bahwa merasa malu dalam mengerjakan perbuatan haram adalah wajib; dalam mengerjakan pekerjaan makruh adalah sunnah; dan dalam mengerjakan perbuatan yang mubah adalah kebiasaan/adat. Perasaan malu seperti itulah yang merupakan salah satu cabang iman.[11]

Berdasarkan pengertian-pengertian yang dikemukakan ulama sebagaimana disebutkan di atas, dapat dipahami bahwa malu dalam melakukan perbuatan baik tidak termasuk dalam kategori malu pada hadis ini. Demikian pula, tidak termasuk dalam kategori ini jika malu untuk melarang orang lain berbuat kejelekan, karena Allah swt. sendiri tidak malu menerangkan kebenaran. Sehubungan dengan hal ini Allah swt. berfirman dalam QS. al-Ahzab (33): 53:

Terjemahnya:

Dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar…

Al-Faqih Abu Laits al-Samarqandi mengklasifikasin malu dalam syari’at Islam menjadi dua, yaitu:[12]
  1. Malu kepada Allah swt., maksudnya ialah malu melakukan maksiat kepada Allah karena menyadari besarnya nikmat Allah swt. yang dianugerahkan kepadanya.
  2. Malu kepada sesama manusia, maksudnya menutup mata dari hal-hal yang tidak berguna.
Malu merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi manusia. Oleh sebab itu, jika manusia telah kehilangan rasa malunya, maka ia tidak ada lagi bedanya dengan binatang. Kehilangan rasa malu akan menyebabkan orang menjadi permissif, sehingga membenarkan segala cara demi untuk kepuasan naluri kemanusiaannya dan bahkan naluri dankebinatangan yang ada pada dirinya.

Berbagai penyimpangan yang terjadi terhadap hak-hak Allah dan hak-hak sesama manusia banyak dipengaruhi oleh hilangnya rasa malu pada manusia. Ketiadaan rasa malu kepada Allah menyebabkan seseorang melakukan kemaksiatan kepada Allah, dan ketiadaan rasa malu kepada Allah dan sesama manusia menyebabkan orang memperkosa hak-hak sesama manusia.

4. Fiqh al-Hadis

Malu dalam arti sebenarnya (menurut pandangan Islam) adalah malu dalam melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah swt. dan yang dipandang jelek oleh manusia. Adapun orang yang merasa malu untuk melakukan perbuatan baik atau malu menegur orang yang melakukan kejelekan tidak termasuk malu dalam kategori ini, tetapi justru termasuk perbuatan tercela.

[1]Ayat yang dibaca Nabi saw. tersebut terdapat dalam QS. Luqman (31): 34. Arti selengkapnya  ayat tersebut: “ Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim, dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok, dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana Dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.

[2]Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya al-Raziy, Mu’jam Maqayis al-Lugah, juz I, (Cet. I; Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1999), h. 72.

[3]Ahmad bin Ali bin Hajar Abu al-Fadhl al-‘Asqalaniy al-Syafi’i, Fath al-Bariy, juz I, ditahqiq oleh Muhammad Fuad Abd al-Baqiy dan Muhib al-Din al-Khathib, (Beirut: Dar al-Ma’rifat, 1379 H.), h. 48.

[4] Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab al-Iman, Abu Dawud dalam kitab awwal kitab al-sunnah, dan Imam dalam Musnad Umar bin al-Khattab.

[5]Toshihiko Izitsu, Ethico Religiuous Concepts in the Qur’an, diterjemahkan oleh Agus Fahri Husain dkk., dengan judul Konsep-konsep Etika Religius dalam Qur’an, (Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), h. 226.

[6] Ibid., h 120.

[7]Muhammad bin Ismailm al-Shan’aniy, Subul al-Salam, Juz IV, (Cet. IV; Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabiy, 1379 H.), h. 164.

[8]Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz V, (Cet. III; Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987), h. 2032; Muhammad bin Isa Abu Isa at-Turmudzi, Sunan at-Turmudzi, juz IV, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabiy, t.th.), h. 321; Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim at-Tamimi al-Busti, Shahih Ibnu Hibban, juz II, (Cet. II; Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993), h. 207.

[9]Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, op.cit., h. 2240; Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairiy an-Naisaburi, Shahih Muslim, juz I, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabiy, t.th.), h. 68.

[10]Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, op.cit., h. 2273.

[11] Ibn Hajar al-Asqalany, op.cit., h. 75.

[12]Al-Faqih Abu Laits Samarqandi, Tanhibul Ghafilin (Pembangun Jiwa Moral Umat) penerjemah Abu Imam Taqiyuddin (Malang: Dar al-Ihya, 1986) h.. 474.

Komentar

  1. Permisi Numpang Promo
    Refiza Souvenir menyediakan paket undangan pernikahan cantik nan elegan, paket yasin untuk souvenir acara pengajian tahlilan dan berbagai macam souvenir tasbih cantik dan elegan untuk oleh-oleh haji dan umroh. cek katalog kami di www.refiza.com

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kosa Kata Bahasa Arab (2)

Mufrodat Pakaian dan Perlengkapan (اللباس و الألات الزينية ) معانى مفردات Pakaian لِبَاس  / ثَوْب Setelan مِسْدَرَة Gamis/Kemeja قَمِيْص Baju Dalam شِعَار Jas مِعْطَف Jubah جُبَّة Mantel عَبَاءَة Jas Hujan مِمْطَرَة Kaos Dalam عَرَقِيَّة / فَانِلَّة Sarung إِزَار Kain Panjang فُوْطَة Celana سِرْوَال Celana Dalam سِرْوَال دَاخِلِيّ Celana Panjang بَنْطَالُوْن Celana Cawat تُبَّان Blus بِلُوْزَة Rok Dalam تَنُّوْرَة B.H / Mini Set صُدْرِيَّة Baju Kurung جِلْبَان Saku جَيْب Kancing زِرّ Lobang Kancing عُرْوَة Lengan Baju كُمُّ Kerah Baju تَلْبِيْب Baju Atasan فَوْقَانِيَة Pakaian Biasa لِبَاس عَادِيّ Pakaian Tidur لِبَاس نَوْمِيّ Pakaian Sekolah لِبَاس مَدْرِسِيّ Pakaian O

Percakapan Bahasa Arab Harian

Dialek bahasa arab fasihah dan 'amiyah No Bahasa Amiyah Kalimat Arab dengan Tulisan Melayu Bahasa Fasih Makna 1 عَلَى كَيْفَكْ Ala kaifak على ما تريد أنت Menurut keinginanmu 2 ذا الحين Dzal hin الآن Sekarang 3 زَعْلانْ Za'lan غَضْبَانْ Marah 4 لَصِّ السراج Lasshi siroj وَلَّعْ السراج Hidupkan lampu 5 ماندري واه Manadri wah ما أعرف Gak tau 6 قدينك Qodainak أين أنت Dimana kamu 7 سيكل Cycle دراجة Sepeda 8 مزرم Mizrim غضبان Marah 9 سيكل ناري Cycle nari دراجة نارية Sepeda motor 10

المرأة فى الاحاديث الضعيفة

المرأة في الأحاديث الضعيفة والموضوعة تأليف أبو مالك محمد بن حامد بن عبد الوهاب المرأة في الأحاديث الضعيفة والموضوعة تأليف أبو مالك محمد بن حامد بن عبد الوهاب بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ رحم الله شيخنا الألبانيّ، الّذي عرفنا عن طريقه أثر الأحاديث الضعيفة الموضوعة السّيئ على الأمّة، إذ كلّما قرأت حديثاً موضوعاً تأمّلت واقعه، وتتبعت أثره، حتّى تبينت منهجاً كاملاً، استطاع أن يحوّل الدّين إلى مجموعةٍ من الأساطير، وهي غايةٌ عظمى لأعدائه على مدار تاريخه، فالقضيّة هي: تفريغ أمّةٍ من دينها الصّحيح، واستبدال دينٍ خرافيٍّ جزافيٍّ به، يتهوّك به المتهوّكون، ويسخر منه السّاخرون. وكانت قضيّة ’المرأة‘ إحدى أهمّ القضايا، الّتي شغلتني عند تتبعي للأحاديث الموضوعة، الّتي شاعت بين أوساط النّاس في سقوطنا، وتخلّفنا الاجتماعيّ، فلقد أتى علينا زمانٌ ندعو فيه إلى إبادة إنسانيّة المرأة، ونمارس ’الوأد‘ في صورٍ مختلفةٍ تناسب الدّعوى الجاهليّة، حتّى بلغ الجهل بالمرأة المسلمة ح دا أخفقت معه في تربية أجيالٍ، ممّا مهد لما نجني ثماره اليوم، ممّا هو معلومٌ ومشاهدٌ، حيث كان المجتمع يمارس إر